Adakah yang lebih menyenangkan dari ini teman. Masak dengan hati gembira, diiringi lagu jenaka untuk seorang pria. Yeah. Gue pun ngga tau kenapa bisa sesemangat dan seantusias ini. Seperti inikah efek sehabis seminar proposal. Semuanya terasa lebih indah. Apalagi kalo udah sidang ya. Pablo yang ngga tau apa-apa aja ikut merasakan euforia kegembiraan gue. Tadi pagi untuk pertama kalinya, gue ngasih makan Pablo and the gang tanpa ada embel-embel niatan ngeracuni mereka. Luar biasa bukan.
Oke. Demi memenuhi janji gue pada Daddy-nya Pablo. Hari ini gue akan masakin menu spesial untuknya, opor.ayam.kampung tsah.
Denting batu gilingan (ulekan) beradu seirama dengan ketukkan musik yang berasal dari hape gue yang tersambung ke speaker portable. Suara cempreng nan melengking Upiak Isil dengan lagu tak tun tuangnya menjadi musik pengiring aksi masak gue. Coeg demi apapun masak sambil dengerin musik itu amboooy. Batu kecil itu menari-nari di atas batu yang lebih besar, menghaluskan bumbu basah. Ngga mau kalah, tubuh gue ikut meliuk-liuk ke kanan dan ke kiri dengan gerakan luwes.
"Aku belum mandi, Tak tuntuang tak tuntuang. Tapi masih cantik juga, Tak tuntuang tak tuntuang. Apalagi kalau sudah mandi, tak tuntuang. Pasti cantik sekali~" gue lempar ulekan dari tangan kanan ke udara, sigap tangan kiri menangkapnya. Seolah-olah ulekan itu mikrofonnya Rita Sugiarto. "Kalau orang lain melihat aku, tak tuntuang tak tuntuang. Badak aku taba bana, Tak tuntuang tak tuntuang. Tapi kalau langsuang di idu, tak tuntuang. Astaghfirullah baunnya"
"Astagfirullah baunnyo" gue mencium ketek sendiri dan mengernyit karena bau. Seperti lirik lagu ini, gue memang belum mandi.
"Walau acok galak surang, Tak tuntuang tak tuntuang. Walau sangko urang awak dalang, tak tuntuang. Tapi hati gue senang. Iiiyesss-- hiaaaaak!!"
Brakk.
Tanpa sadar gue menginjak spatula yang entah gimana ceritanya tergeletak di lantai. Membuat gue ngga bisa mempertahankan keseimbangan dan berakhir terjengkang. Sementara ulekan yang gue jadikan mik dadakan itu terlepas dan melayang di udara.
"Mampos itu ulekan kelempar. Tiarap!" gue tengkurap di lantai, kedua tangan terangkat menutupi kepala. Melindungi diri dari ancaman ulekan yang bisa saja menimpa kepala gue. Namun hingga beberapa detik berlalu ngga terjadi apa-apa. Suara benda jatuh atau pecah karena tertimpa ulekan juga ngga ada. Kok aneh ya.
Penasaran gue bangkit. Mengintip dari balik meja dapur.
"Cari ini?"
"Kok sama Bapak?"
Pak Nugra mendekat. Masih dengan kemeja kerja yang sudah ngga serapi tadi pagi. Ulekan tadi sudah berpindah ketangannya. "Nih. Hampir kena kepala saya."
"Sorry bossque." gue nyengir. "Baru hampir kan belum kena beneran."
"Tipis." katanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Satu Semester (SUDAH TERBIT)
General FictionNikah? Sama dosen pembimbing skripsi sendiri? Apa jadinya? Untung atau malah bunting eh buntung? Hanya kisah tentang mahasiswa semester akhir yang tengah diburu deadline menulis skripsi. Terpaksa menikah dengan dosen pembimbing skripsinya sendir...