Demi apa rampoknya berkonde? Masa rampok jaman now gayanya old gitu. Gue picingkan mata menengok lekat-lekat. Ya salam gue mesti beli kacamata ini, jarak ngga berapa jauh aja mata udah kabur gini. Sekali lagi gue fokuskan pandangan--Bujubuneng itu mertua gue.
"Ibu!" ucap kami serentak.
"Assalamu'alaikum Le, Nduk."
"Wa'alaikumsalam."
"Kalau manten baru begitu ya, baru sampai depan pintu wes panjat-panjatan." Ibu mengulum senyum, geleng-geleng kepala seolah maklum.
Panjat-panjatan?
Pandangan gue beralih ke bawah, Pak Nugra menoleh kebelakang. Dan mata kami bertemu. Sialan. Ternyata ini maksud Ibu. Sebelah tangan gue bertengger di leher Pak Nugra, sebelah lagi menggapai-gapai hape di tangannya, kedua kaki gue menyilangi perut berototnya. Gue beneran kayak monyet.
"Turun Junia." titahnya.
"Iya iya sabar,--jangan dijatuhin kayak kemaren sih Pak!" gue mempererat pegangan di leher Pak Nugra sewaktu si empunya bergerak-gerak mau menurunkan gue.
"Kamu cekik leher saya." suara Pak Nugra tercekat.
"Makanya jangan gerak-gerak." gue lepas pegangan di leher Pak Nugra. "Turun dikit." Pak Nugra menunduk sedikit mempermudah akses gue turun.
"Kayaknya Ibu pulang saja ya." untuk kedua kali Ibu menginterupsi.
"Heh kok pulang? Kan baru sampe, Bu." gue dekati Ibu, mencium punggung tangannya khidmat.
"Ibu ndak enak ganggu manten baru." ucap Ibu dengan nada meledek.
Ebuset kirain apaan.
"Ibu kayak ngga pernah aja. Namanya masih baru Bu, tegangan tinggi terus. Sekali senggol langsung bacok." gue tutup muka pura-pura malu.
"Nanti saya senggol beneran kamu kewalahan." bisik seseorang tepat di kuping gue. Saat gue menoleh muka Pak Nugra yang tertangkap di Indra penglihatan gue.
"Huaaah Ibu." jerit gue memeluk Ibu refleks.
Kerah kaus belakang gue ditarik hingga pelukan gue dan Ibu terlepas. "Ini handphone kamu." Pak Nugra mengacungkan benda pipih itu ke muka gue. Kini gantian ia mencium punggung tangan Ibu seperti yang gue lakuin tadi. "Ayo Bu, ngobrol di dalam saja." Ibu dan anak itu masuk meninggalkan gue yang masih sport jantung di depan pintu.
Akhir-akhir ini jantung gue gampang banget dia buat ketar-ketir, masa.
.
.
.Ibu dan Pak Nugra duduk mengobrol di sofa ruang TV. Sebenarnya sofa itu cukup untuk tiga orang, tapi dikarenakan badan Pak Nugra lumayan makan tempat, akhirnya gue lebih memilih jelepok di depan aquascape sambil menyapa Pablo alih-alih ikut dalam pembicaraan mereka.
"Ibu kesini kok ngga bilang? Mas bisa jemput ke stasiun seandainya Ibu kasih kabar mau datang." tanya Pak Nugra sembari melepas sepatunya.
"Lali Le, niatnya tadi mau ngasih kabar di kereta, lah malah kelupaan. Yo orang lupa, biso opo."
"Ibu kesini sediri?" Ibu tersenyum mengangguk sekali. "Mbak mana?"
"Izin pulang kerumahnya. Anaknya sakit dikampung, ini karena memang ada keperluan saja makanya Ibu datang sendiri."
"Ibu jangan kesini sendiri lagi ya Bu, ajak Mbak biar ada yang nemenin di jalan. Naik kereta sendirian ngga aman buat Ibu."
Ibu mengelus pipi anak bangkotannya sayang. "Iyo Le." katanya mengiyakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Satu Semester (SUDAH TERBIT)
Fiksi UmumNikah? Sama dosen pembimbing skripsi sendiri? Apa jadinya? Untung atau malah bunting eh buntung? Hanya kisah tentang mahasiswa semester akhir yang tengah diburu deadline menulis skripsi. Terpaksa menikah dengan dosen pembimbing skripsinya sendir...