#40 Bia Den Pai, Da (Biar Gue Pergi, Mas)

257K 23K 3.9K
                                    

Mulmed dengan kearifan lokal. Jangan lupa didengerin sekali-sekali menikmati lagu daerah muehehehe

Tolong kalo mau menghujat jangan absen warga kebun binatang plis. Emosi gue bacanya! *emot keluarin jurus kamehameha*

.

.

.

Anjing temannya pasti anjing bukan kucing. Sama seperti mereka berdua, Gana dan Pak Nugra. Satu bangsat yang satu lagi pasti juga bangsat. Cuma bagaimana cara mereka mengemas kebangsatan itu aja yang patut diacungi jempol. Karena mampu menipu banyak orang. Gue nggak habis pikir, semudah itukah mereka merusak hidup orang lain dengan cara paling hina. Mau itu atas dasar suka sama suka sekalipun, gue tetap nggak bisa memaklumi perbuatan mereka.

Gue sadar Uni juga ikut andil dalam kemalangan yang dia alami saat ini. Jujur gue kecewa, banget. Gue marah tapi bukan berarti karena sudah melakukan kesalahan, Uni harus menanggung tulahnya seorang diri. Perempuan itu ibarat gelas kristal, cantik dan mahal. Tapi ketika sudah pecah, rusak, dia nggak akan ada harganya. Sementara laki-laki serusak apapun, ia akan selalu terlihat sempurna. Takdir memang kejam huh. Lihat saat Uni gue bertahan sendiri dengan semua sanksi sosial yang ia terima, dua laki-laki itu terutama Pak Nugra menantu yang sangat dibangga-banggakan Mama, bisa hidup nyaman dan bebas lepas dari tanggung jawab. Saking pandainya bermain peran, Mama dan Papa pun terkecoh dengan sikap ramahnya yang mengandung petaka.

Menutup pintu keras gue berjalan penuh amarah ke dapur. Adik mana yang nggak naik pitam dengar pengakuan laki-laki tentang perbuatan amoral yang dilakukannya bersama dengan Kakak lu sendiri. Gana Bajingan! Darah gue menggelegak, gue butuh sesuatu yang bisa mendinginkan kepala dan pikiran.

Gue buka kulkas dan mengambil sebotol air dingin, meraih gelas dan menuangkan air dari botol ke dalamnya. Namun sejenak gue terpaku, terngiang sebuah perkataan seseorang, 'Biasakan minum dengan gelas, Junia.'

"Sialan!"

Spontan gue banting gelas itu ke lantai. Gue nggak akan menuruti kata-kata laki-laki bajingan itu lagi. Gue akan lakukan semua hal dalam hidup semau gue. Gue tegak air langsung dari botolnya. Mulai saat ini hidup gue, gue yang atur bukan Pak Nugra.

Gue berjalan ke kamar, menarik laci lemari baca dan mengambil satu amplop coklat yang tergeletak di sana. Amplop yang harusnya gue kasih ke Pak Nugra tapi malah tertukar. Gue bongkar isinya di kasur. Berhamburan beberapa kertas dan foto. Gue pandangi foto itu, potret Uni tengah duduk menengok ke samping tersenyum anggun ke kamera. Foto kedua potret Uni bersama Gandi sepupu kecil gue sewaktu kami pulang kampung dulu. Di sana senyum Uni merekah. Gue kangen senyum itu. Gue kangen wajah ceria itu. Gue kangen Uni yang seperti itu. Bukan Uni yang murung dan terluka seperti tadi.

 Bukan Uni yang murung dan terluka seperti tadi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Suami Satu Semester (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang