BAB 29

469 35 3
                                    

            Begitu motor Adi tiba di tempat parkiran, Melisa yang dibonceng di belakang langsung loncat turun dan berlari ke arah kelasnya. Sebentar lagi bel masuk.

Ketika melewati lapangan basket, Melisa langsung mengerem kakinya. Ia melihat Tedy bemain bola sendirian di sana. Keningnya mengkerut. Ngapain tuh orang di sana? Sudah mau bel, masih main begitu.

Mengingat kejadian semalam, sungguh itu merupakan tanda tanya besar buat Melisa atas sikap Tedy semalam. Tapi, ia tak ada menghubungi cowok itu lewat SMS atau apapun, karena ia bertekat hari ini akan 'melabrak' cowok itu, maksudnya menuntut penjelasan. Karena, harus berapa kali ia katakan ini, ia paling tidak suka suatu ketidakjelasan. Dan bila ada yang tak jelas baginya, apalagi itu membawa potensi merusak hubungan persahabatan, ia akan segera menuntut orang itu langsung detik itu juga. Ia tak akan minta maaf sampai ia tahu ia salah apa. Dan ia tak merasakan telah melakukan salah pada cowok itu!

"Kepala Biru!" teriak Melisa dari pinggir lapangan setelah menimbang-nimbang apakah harus memanggil Tedy atau tidak.

Tedy menoleh. Cowok itu sempat terdiam saat tahu Melisa lah yang memanggilnya, tapi kemudian ia mengangkat tangan, melambaikannya sekilas. Semua anak perempuan yang sedari tadi ada di sekitar lapangan menonton Tedy main, langsung mengeluarkan berbagai reaksi. Ada yang meledek dengan cuit-cuit, ada yang menggerutu, ada yang memasang tampang sirik, ada juga yang biasa-biasa saja.

Tedy menghentikan permainannya dan menghampiri Melisa. Diam-diam gadis itu cukup lega dengan reaksi normal Tedy di pagi hari ini, walau tidak seperti biasa, tak ada senyuman ramah cowok itu untuknya. Pagi ini Melisa tidak melihat lesung pipi sebelah cowok itu. Tapi, setidaknya Tedy tidak mengacuhkannya. Ia pikir Tedy akan mengabaikannya. Huhu, itu akan sangat menyakitkan dan memalukan bila terjadi di sini, di depan semua mata perempuan itu.

Tedy mengikuti irama langkah Melisa, mereka jalan bareng menuju kelas. Beberapa mata anak perempuan yang berpapasan atau pun yang sedang berdiri di tiap jalan, memperhatikan mereka. Sebagian mata memancarkan sirik, heran dan penasaran. Sirik, kenapa Melisa bisa sedekat itu dengan Tedy, karena sebelum ini Tedy tidak pernah dekat dengan cewek. Temannya pasti hnya Fakhrul dan Andi. Heran, kenapa Melisa bisa dekat banget dengan Tedy. Penasaran, kenapa Melisa dan Tedy bisa menjadi sangat dekat.

"Elo sudah belajar Fisika? Ulangan loh jam pertama," kata Melisa mengingatkan sebagai awal pembuka topik.

Tidak ada sahutan. Tedy sesekali memantulkan bola basketnya ke bawah, terus begitu tanpa menyahut apa pun.

"Ted..." tegur Melisa. "Elo masih dendam sama Fisika?"

Tedy tetap diam tidak menjawab.

Sebenarnya Melisa tahu kalau Tedy bukan dendam pada Fisika. Juga bukan benci. Tapi apa ya namanya? Susah dikatakan apa namanya, makanya Melisa menggunakan kata dendam atas sikap Tedy yang sama sekali tak pernah mau masukin kata Fisika dalam nama pelajaran yang mesti ia pelajari di SMA.

"Ted, elo kenapa lagi, sih???" sungut Melisa, mulai kesal dan emosi juga akhirnya. "Rey juga udah nggak nganggap elo saingan lagi kan?"

Tedy mengerutkan kening dalam. "Lha, emang iya. Apa urusannya sama Rey? Gue sama Rey fine-fine aja."

"Nah, trus elo kenapa lagi, dong??" tanya Melisa gemas.

Tedy tetap dengan kerutan di keningnya. "Gue kenapa, emang?"

Melisa memutar bola mata. Bosan dengan permainan 'berlagak tidak tahu' begini. Mereka kembali melanjutkan langkah dalam diam. Melisa melirik cowok itu, mengamati ekpresinya. Benar kan, sudah jelas pasti ada apa-apa, karena bisa dibilang wajah Tedy masam. Ia, sumpah, tak pernah melihat ekpresi Tedy seperti ini (setidaknya tak selama ini). Cowok itu mana pernah tahan bermuka masam atau diam lama-lama.

Sakura Lover (COMPLETED) 🔚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang