BAB 30

340 32 0
                                    

            Renni duduk terjongkok di dekat meja satpam yang kosong. Sekolah telah sepi. Hari sudah mulai sore. Widya dan Melisa bahkan sudah pulang duluan. Sebenarnya Widya menawarkan tumpangan, tapi karena Renni akan dijemput supir, jadi ia lebih memilih menunggu karena supirnya itu selalu on time, tak pernah telat. Tapi, kok ini tumben lama amat. Tumben-tumbennya supirnya itu ada sedikit halangan alias dapat mandate dari ayah Renni, jadi hari ini akan telat menjemput. Hhh... tahu gitu tadi ia nebeng Widya saja, keluh Renni dalam hati.

Omong-omong soal Widya, sahabatnya itu memang sungguh mengerikan, tapi membuat Renni jadi semakin menyayanginya. Setiap ada yang mengganggu Renni dan Melisa, pasti Widya yang pasang abdan dan maju paling depan. Tadi, saat jam istirahat, Widya tahu-tahu datang ke kelas Renni dan melabrak Tyo. Heboh banget deh, tadi, kalau tidak dilerai oleh anak-anak termasuk Renni. Renni meminta gar Widya biarkan saja Tyo, lagipula Tyo juga sepertinya nampak agak menyesal. Renni hanya takut kalau diperpanjang, nanti sampai ke guru lagi, tambah memalukan lagi, huhu.

Aaaarrkkkhhh!!

Kenapa, sih, hari ini bisa terjadi??? Ia tak pernah menyangka hal memalukan ini bisa terjadi dalam hidupnya!

Renni menutup muka dengan kedua tangan, dan refleks mengusak rambutnya hingga yang tadinya terikat rapi menjadi sedikit berantakan akibat beberapa helai yang mencuat keluar.

Huwaa... Mama, muka ini harus ditaruh di mana, Mama??

Renni siap mulai mau mewek lagi, tahu tidak ada yang melihat. Tapi, ia juga sadar tak ada gunanya juga ia mewek-mewek sendirian di sini seperti orang gila.

Kesal, ia pun berdiri.

"Duh, ini lama amat, sih!" omelnya, merujuk pada supirnya yang tumben-tumbenan sangat amat begitu lelet.

Dengan menghentakkan kaki, ia akhirnya masuk kembali ke sekolah, hanya sekadar membuat kaki capek dan menghabiskan waktu, daripada bete jongkok di depan sampai pegal.

Renni menatap sesisi sekolah yang sudah benar-benar sangat hening, tak ada satupun hidung yang ia lihat, atau suara. Fix, tinggal hanya dirinya di sini sebatang kara.

Renni berhenti pada sebuah tembok depan ruang guru, lalu bersandar di sana, malas. Ia atak tahu harus senang atau sedih dengan keheningan ini. Ia merasa sendiri, tapi di sisi lain pun ia kira ia bersyukur, sebab ia sesungguhnya masih malu menampakkan muka di depan penghuni sekolah ini. Sebab, kabar memalukan tentang dirinya mulai dari nembak Fakhrul dan ditolak (walau hanya game), dan terungkapnya buku hariannya dan kenyataan kalau ia memang naksir Fakhrul, duh...gusti.... ia pasti adalah sasaran empuk untuk dijadikan bahan gosip anak-anak sekolah ini selama sebulan ke depan ini. Huwaaaa... rasanya ia mau minggat saja pergi ke planet lain!!!

Renni tak sadar kalau ia sekarang sudah mulai mewek-mewek di tempat lagi sambil melompat-lompat menghentak-hentakkan kaki, benar-benar kesal dengan dirinya sendiri dan scenario Tuhan hari ini! Tuhaaannn... kenapa, sih, kok tega sama Renni? pikirnya. Huhuhu, Renni kan selalu jadi anak baik, sholat juga tak pernah bolong walau memang tidak pernah on time. Renni juga tak pernah jahat sama orang, tapi, kok Tuhan tega, sih bikin scenario sampai memalukan Renni seperti ini? Huhuhu, memangnya Renni salah apa? Huhuhuhu. Apa karena Renni tak pernah jujur sama perasaan sendiri, jadi Tuhan pengin Renni jujur? Tapi, kan, harusnya tak begini caranya, Tuhaaannnn. Pasti ada acara yang lebih baik dan indah lagi!

Renni terlalu asik berdialog dengan dirinya sendiri dan Tuhan hingga tak tahu kalau sekolah yang ia pikir sudah kosong ternyata masih meninggalkan beberapa makhluk yang sedang berkumpul di aula. Mungkin karena pintu aula tertutup, makanya Renni tak menyangka kalau masih ada orang. Renni hanya kurang jeli. Ia hanya melihat pada parkiran di depan yang sudah kosong, tapi tidak tahu kalau di parkiran belakang dekat kantin sekolah masih tertinggal beberapa motor di sana. Dalah salah satunya adalah motor yang sangat ia kenal.

Sakura Lover (COMPLETED) 🔚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang