BAB 2

915 45 2
                                    



Melisa melemparkan ranselnya begitu saja ke atas meja dengan muka dibuat agak jutek. Ia sama sekali tak melirik penghuni bangku di sebelahnya dan langsung duduk begitu saja. Tadi ia sengaja berlama-lama numpang di kelas Renni sambil nunggu bel masuk, dan baru setelah guru di kelas Renni datang, akhirnya ia masuk ke kelasnya. Tak ia pedulikan cowok yang ia tahu sedang menatapnya sekarang. Masa bodo! Terserah, deh.

"Kenapa pagi-pagi udah muka jelek aja, sih?" tanya Tedy polos.

Melisa hanya mendengus, dan membuka tasnya untuk mengeluarkan buku cetak dan buku tulis Matematika.

"Oke...oke... gue anggap lo lagi bete. Makanya nggak mau ngomong, ya? Bete kenapa?"

Melisa membuka tempat alat tulisnya dan mengeluarkan bolpoin.

Tedy sempat diam sejenak, sebelum nyeletuk lagi dengan polos. "PMS?"

Dan itu dijawab dengan gerakan gadis itu yang memasukkan kotak pensilnya kembali ke dalam tas dengan agak kasar, lalu memasukkan tasnya ke laci.

"Yaellah.. gue kayak lagi duduk sama tembok." Tedy tampak mulai sebal dan akhirnya tak peduli lagi.

Melisa kembali mendengus. Bodo amat! Yang mau dipeduliin sama cowok itu juga siapa, ha? Urus saja diri sendiri sana! Nggak usah nyapa-nyapa! Nggak usah negur-negur!

===

Akhirnya kemerdekaan hari ini bagi murid SMA Negeri 1 tiba juga. Bel pulang baru saja berbunyi! Tentu saja beberapa murid langsung sibuk membereskan alat-alat mereka, tak peduli guru mereka masih berdiri di depan papan tulis, atau bahkan masih belum selesai menjelaskan. Tidak terkecuali anak kelas Bahasa.

Widya membereskan bukunya pelan-pelan. Ia lagi malas keluar kelas sekarang. Hal-hal buruk pasti akan terjadi kalau ia nekat keluar detik ini. Anak-anak di luar sudah banyak yang siap-siap beraksi untuk memanggilnya dengan nama barunya apabila ia muncul nanti.

"Loh, Wid... ayo keluar. Elo nggak mau pulang?" tanya Suci saat di kelas sudah hanya tinggal mereka berdua.

"Jangan gila, deh. Elo tahu kan apa yang bakal terjadi kalau gue keluar kelas sekarang?!" sungut Widya tanpa berdiri dari bangkunya. "Kalau elo mau duluan, duluan aja."

Suci menggeleng dan duduk lagi di bangkunya. "Nggak deh. Gue nunggu lo aja."

Widya angkat bahu. "Oh ya... lo ntar jadi nih berangkat ke Medan? Lo bilang ada acara keluarga?"

"Ya, jadi. Tapi masih beberapa hari lagi, kok. Kenapa? Lo takut ya kangen sama gue?" goda Suci.

Widya tidak bisa tertawa dengan candaan Suci. Mulutnya nampak manyun.. karena ia sudah bisa membayangkan bagaimana hari-hari buruknya akan segera datang begitu Suci pergi meninggalkannya ke Medan. "Kalau lo nggak ada, siapa yang jadi tameng gue kalau dikerjain sama anak-anak gara-gara ulah si...." Widya berdecak sebal sebelum menyebut sebuah nama, "Adi!"

"Heh?" protes Suci tidak terima. Matanya pura-pura melotot galak. "Jadi, lo manfaatin gue jadi tameng?! Wah, ketahuan belang lo ya sekarang! Gue jadi nyesal udah belain lo selama ini...," ujarnya dengan wajah dibuat-buat penuh jengkel.Ia tidak sungguh-sungguh protes pada Widya. Ia sudah tahu kalau Widya dan Adi tidak pernah akur. Tapi tidak ada yang tahu asal-muasal penyebab pertengkaran mereka. Tau-tau saja nongol julukan sibencong dan sinenek gerondong.

"Gue serius nih, Ci," rengek Widya. "Kalau lo gak ada, gue bisa kalah telak sama sibencong itu. Pasti ada aja ulahnya supaya gue mau bicara sama dia!"

Sakura Lover (COMPLETED) 🔚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang