3. Youth

787 71 10
                                    

Bruk!

Januari tersandung kakinya sendiri. Lantas membentur pintu rumah sampai terhempas ke belakang dan terkapar tak berdaya di lantai. Dia meringis kesakitan. Mulutnya spontan mengumpat.

"Astaghfirullah. Lo lagi gak waras, ya. Tiduran di depan pintu. Awas, gue mau lewat!"

Dengan bengisnya, Agus menendang paha adiknya lumayan keras. Bermaksud menyingkirkan seonggok Januari dari depan pintu.

"Bangkek lo, Bang! Bukannya nolongin, malah dzalimin adik sendiri!"

Agus tertawa kecil. Ia menjulurkan tangan lalu disambut Januari cepat, hingga dia bisa berdiri kembali.

"Tumben ceroboh, lagi badmood?"

Abangnya itu amat tahu sifat sang adik. Kalau Januari sedang dikuasai amarah, cowok itu cenderung melakukan hal-hal ceroboh yang berpotensi dapat mencelakakan diri sendiri. Contohnya sekarang ini.

"Tumben pulang jam segini, lagi gak workaholic?" balas Januari dengan pernyataan sama seraya memasang raut kesal.

Agus hendak menimpali, tapi tangan Januari lebih dulu terangkat. "Gue udah tahu tanpa perlu dikasih tahu. Lo kangen masakan Mama."

Sudut bibir Agus miring ke atas. "Bocah!" Lantas mengacak rambut adiknya yang hitam legam.

"Ish! Don't ever touch my hair!" tangan Agus ditepisnya. Ia benar-benar tak suka siapa pun mengacak rambutnya karena ia anggap hal itu sungguh kekanak-kanakan. Dan Januari bukan lagi bocah 5 tahun!

Tawa kecil Agus menyeruak. Kapan lagi bisa mengerjai adiknya kalau tidak sekarang. Kegiatannya di kantor menyita banyak waktu, sehingga kebersamaannya dengan keluarga di rumah jarang terjadi. Dia rindu momen di mana ketika ia memiliki waktu banyak bersama sang adik. Menghabiskan berjam-jam di depan TV hanya untuk bermain PS. Atau sekadar bermain musik. Ia yang akan memainkan piano dan Januari yang akan menyanyi.

Sayangnya takdir berkata lain. Semenjak papa mereka meninggal 10 tahun yang lalu, tidak hanya kesedihan yang mendera keluarga tersebut, tetapi juga meninggalkan tanggung jawab kepada Agus yang notabene sebagai anak tertua.

Agus remaja pun dipaksa belajar untuk memahami seluk beluk perusahaan sejak dini. Bahkan mirisnya kaki tangan sang Papa sudah mengatur segala kehidupannya termasuk pendidikannya. Dengan terpaksa ia putuskan mengubur mimpinya menjadi seorang musisi dan memilih jurusan bisnis di universitas bergengsi di luar negeri.

Kepergian sang papa menimbulkan banyak luka, tidak hanya bagi istrinya dan Agus saja, Januari pun juga. Abraham adalah sosok idola baginya. Kehilangan sosok idola membuat Januari menjadi laki-laki yang arogan. Tidak seperti dulu yang manis dan penurut.

Kecelakaan yang merenggut sang Papa baginya adalah kesalahannya. Berkali-kali ia menyalahkan diri sendiri, meski Violet-mamanya-sudah menegaskan bahwa takdirlah yang menentukan hidup dan mati seseorang. Bukanlah Januari semata.

Pada akhirnya seiring berjalannya waktu dan bertambahnya usia, Januari mengerti bahwa kematian adalah ketentuan dari Tuhan yang siapa pun tak dapat mengubahnya. Dia perlahan memaafkan dirinya sendiri dan berhenti untuk menanggung penyesalan.

"Lho, kalian udah pulang? Kok gak ngucapin salam?"

Januari lebih dulu menghampiri Violet, lebih tepatnya mengambil kesempatan untuk kabur dari bullying Agus. Dia mengambil tangan Violet lalu menciumnya. "Assalamualaikum, Ma."

"Waalaikumsalam."

Agus melakukan hal yang sama persis dengan apa yang dilakukan Januari.

"Makan, yuk. Mama udah masakin gurame asam manis, terong balado, sama capcay."

Januari VS Mei 🔚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang