"Bagaimana?" Tanya Mei berbisik sesaat setelah Niko membawanya ke perpustakaan pada saat jam istirahat.
"Gak mudah bertanya soal Hana pada kakakku. Aku harus mencari alasan agar Kakakku gak curiga. Untungnya aku sempat mencari informasi di salah satu situs berita mengenai kasus Hana. Dia percaya saja saat kubilang penasaran ingin tahu kejadian yang sebenarnya karena berkaitan dengan sekolah tempatku belajar."
"Jadi?" Mei menyorotkan ketidaksabaran.
"Selama ini media mengatakan, bahwa Hana meninggal karena kelalaiannya sendiri, jatuh dari atap gedung sekolah. Kakakku sepenuhnya tidak percaya. Katanya ada banyak kejanggalan yang sengaja ditutupi pihak kepolisian dan media. Tentu saja hal besar itu harus ditutupi karena bersamaan dengan pencalonan Gibran dalam pemilihan legislatif dua tahun lalu. Kasus anaknya bisa jadi banyak memberikan dampak besar bagi kredibilitasnya di mata rakyat."
Mei mengangguk antusias seraya mengerutkan dahi. "Kejanggalan bagaimana maksudnya?"
Niko mengayunkan tatapannya ke sekeliling di antara rak-rak tinggi. Siapa tahu ada yang sengaja mencuri dengar obrolan rahasianya dengan Mei. Setelah dirasa aman, dia melanjutkan. "Coba kamu pikir, buat apa dia datang ke rooftop pada waktu jam pelajaran sedang berlangsung?"
Mei teringat kebiasaan Januari yang selalu datang ke rooftop, tempat favoritnya di sekolah. "Mungkin itu tempat favoritnya?" Suaranya mengambang. Tidak yakin dengan jawabannya.
Niko menggeleng. "Pagi ini, aku baru menyadari sesuatu. Foto Hana terpapang di dinding ruang OSIS sejajar dengan murid-murid berprestasi lainnya. Dia pernah ikut olimpiade sains tingkat provinsi dan mendapatkan juara pertama. Jika dia sepintar itu, rasanya aneh bila dia memilih untuk meninggalkan pelajaran begitu saja demi pergi ke rooftop. Kecuali jika dia memang ingin mencari tempat paling sepi untuk melakukan sesuatu agar tidak diketahui orang."
"Kamu benar."
"Hanya ada dua asumsi yang ada dipikiranku. Dia datang ke sana atas suruhan seseorang atau keinginannya sendiri."
Gadis itu menatap Niko selidik. "Maksudmu dibunuh atau bunuh diri?" Katanya menarik kesimpulan.
"Bisa jadi, tapi kita jangan terburu-buru mengambil kesimpulan. Kita butuh bukti lebih banyak lagi."
Mendesah, Mei menyandarkan bahunya pada rak. "Mungkin aku akan bertanya langsung pada Hana, tapi itu mungkin akan sangat sulit. Sejak awal dia sulit untuk diajak bicara. Hah? Bagaimana ini? Bahkan aku sudah lama tidak melihat penampakannya." Mei menggaruk kepalanya, frustrasi. Tiba-tiba ia menegakkan tubuh, matanya bersinar lantaran mendapat ide. "Ah, aku bahkan tidak tahu cara untuk memanggilnya datang." Tubuh Mei kembali lesu.
"A... apa?" Mulut Niko bergetar. Kontan ia mengedarkan pandangan. Mencari pengalihan. Kalau soal hal mistis, Niko masih dihantui perasaan sensitif dan ngeri. Dia baru sadar membantu seseorang yang mampu melihat hantu bukan perkara mudah, tapi toh dia sudah berjanji pada diri sendiri dan Mei untuk ikut membantu. Resiko selalu ada dan dia harus menerimanya seburuk apapun kelak. Termasuk bila hidupnya berakhir di tangan para hantu.
Niko berdeham. "Kita harus mencari teman-teman seangkatan Hana. Mereka pasti tahu kronologisnya."
"Atau Tyo! Bukankah dia saudara laki-laki Hana? Dia pasti tahu banyak." Matanya yang semula meredup, berapi-api ketika mengatakannya.
"Er... kayaknya itu ide buruk. Temperamen cowok itu sangat jelek. Aku mengkhawatirkan dirimu seperti terakhir kali yang dia lakukan padamu."
"Kenapa tidak langsung bertanya pada Januari? Kalau dia memang berhubungan dengan kasus Hana, dia pasti tahu semuanya." Niko mengimbuhkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Januari VS Mei 🔚
FantasíaHana mati dua tahun lalu. Arwahnya bergentayangan, mengusik si anak Indigo bernama Mei. Saat itulah Mei tahu, bahwa urusan Hana di dunia belum selesai. Dan itu menyangkut si ketua geng Lucifer, Januari yang amat sangat Mei benci.