7. Reflection

649 62 4
                                    

Sejak satu jam yang lalu atau mungkin dua jam yang lalu, Vi tak menghitungnya dengan pasti, dia melihat adiknya mondar-mandir di beranda rumah. Kepalanya celingak-celinguk memperhatikan jalan dari kejauhan. Sementara bibir sengaja digigit, kalau sudah begitu Vi tahu adiknya sedang dilanda cemas.

"Kamu yakin temanmu akan datang?"

Mei mengedikkan bahu. Dia tidak sepenuhnya yakin untuk menjawab iya, walau Niko sudah mengkonfirmasikan akan datang lewat pesan whatsapp. Sementara Niken, Irma dan Rere belum mengabarkan kesanggupan mereka.

Hal yang paling mengkhawatirkan baginya adalah melihat ekspresi mereka setelah bertamu ke rumahnya.

Ya, rumahnya mirip sekali dengan kastil tua yang banyak terdapat di daratan Britania Raya. Konon katanya kakek, kakeknya lagi dan kakeknya lagi, entah generasi keberapa. Intinya Kakek buyutnya adalah seorang bangsawan pribumi yang berteman baik dengan seorang bangsawan Inggris kaya raya yang masih memiliki kekerabatan dengan ratu Inggris. Bangsawan Inggris itulah yang membuat kastil itu. Di mana kala itu Indonesia sedang dijajah oleh bangsa Inggris.

Seperti hubungan persahabatan pada umumnya, mereka saling tolong menolong satu sama lain tanpa pamrih. Hingga pada saat Belanda kembali berkuasa. Pergolakan kembali terjadi. Pemberantasan besar-besaran terhadap bangsa Inggris dan pribumi. Sahabat Kakeknya yang memiliki pangkat bintang tiga tak ayal harus kehilangan nyawa beserta keluarganya.

Setelah tragedi berdarah itu, Kakeknya berjanji untuk merawat kastil itu dan mewarisinya ke anak cucu. Dan akhirnya jatuhlah ke tangan Danuwiratma, ayahnya. Sebenarnya ayahnya terlahir tiga bersaudara. Sayangnya paman dan bibinya enggan untuk menempati kastil itu dan memilih tinggal di luar kota.

Kalaupun ada pilihan, Mei lebih memilih hidup sederhana di rumah biasa seperti orang kebanyakan. Tapi sayangnya ayahnya yang memiliki kekerasan kepala melebihi dirinya, lebih memilih mempertahankan warisan.

"Ini adalah peninggalan sejarah. Kita harus menjaganya." Itu katanya setiap kali Mei mengeluh menginginkan tempat tinggal baru.

Bukan karena Mei tidak mau menerima kenyataanya itu, masalahnya hampir setiap malam dia kesulitan untuk tidur karena beberapa kali terusik dengan anak kecil pirang yang berlarian sepanjang koridor depan kamarnya. Terkadang pula wanita berparas pucat memakai gaun kebangsawanan zaman dulu melintas di kamarnya. Atau kalau ia haus dan terpaksa ke dapur, dia sering kali melihat pria dewasa berpakaian militer duduk di kursi goyang yang ada di ruang santai.

Mei yakin mereka tidak berniat untuk menganggu. Meski Mei sudah terbiasa melihat hantu sejak kecil, tapi kalau melihat mereka hampir setiap hari tentu ada rasa takut juga. Di samping itu juga, Mei sangat yakin kalau mereka mungkin adalah pemilik asli kastil yang ia huni. Rasa segan ketika melihat mereka membuktikan mereka sangat berkuasa pada zamannya.

"Malah bengong!" Vi menyentil pelipis Mei hingga bayangan pemilik kastil itu lenyap seketika.

"Ish! Kak."

"Temanmu belum datang ya?" Jinni muncul dengan celemek bunga-bunga dan spatula di tangannya. Selagi menunggu masakan matang, dia ke beranda demi memastikan tamu yang ditunggu-tunggu apakah sudah datang.

Mei menggeleng cemas.

"Vi, kamu sudah membersihkan ruangannya kan?"

Vi berdecak pelan. "Sudah," jawabnya malas.

Yang mengherankan yang paling antusias di sini adalah Jinni. Mamanya itu sangat heboh sejak dua hari yang lalu setelah Mei mengatakan temannya akan kerja kelompok di kastil itu.

Jinni memasak begitu banyak makanan. Menyiapkan cemilan, menyuruh Vi membersihkan setiap sudut ruangan hingga mendekornya dengan barang-barang yang lebih berwarna agar kastil tersebut tidak berkesan menyeramkan.

Januari VS Mei 🔚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang