31. Blood, Sweat & Tears pt. 3

276 32 12
                                    


Violet yakin terakhir kali ia bersama Leeteuk untuk mencari keberadaan Januari yang katanya sedang dalam bahaya. Tetapi mengapa ia bisa berada di atas ranjang di dalam ruangan asing berselimut beludru merah berkualitas tinggi yang sangat lembut di kulit ini?

Ia menyandarkan punggung pada kepala ranjang. Peningnya kian berdentam-dentam hingga ia refleks mendesis. Ia merasakan sesuatu yang janggal ketika tangannya meraba kepala. Rambutnya terurai bebas tanpa penghalang kain yang kerap ia pakai dalam keseharian.

Violet panik. Mencari jilbab sepanjang mata memandang, tapi tak kunjung ia dapatkan. Ia mengamati setiap sudut ruangan, menerka keberadaannya. Kepalanya terlalu pusing untuk memikirkan gaya apa yang diusung kamar dengan dipenuhi barang berkilauan emas dan antik ini yang ditata sangat presisi. Yang jelas, ia harus memasang kewaspadaan pada siapa pun yang membawanya kemari.

"Akhirnya kau sadar juga."

Wanita yang masih tetap cantik di usia kepala empat itu beringsut semakin menekan ujung kepala ranjang. Ia menarik sedemikian rupa selimut hingga membungkus rapat tubuhnya dan hanya menyisakan kepalanya saja. Pria matang yang baru saja masuk ke kamar itu terkekeh melihat tingkah Violet yang baginya sangat menggelikan.

"Pa ... Park Jin Woo." Suara yang keluar dari tenggorokan Violet bercampur dengan gemetar yang tak dapat disembunyikannya dengan baik.

Meski penerangan hanya bersumber dari dua lampu duduk di masing-masing sisi ranjang, Violet masih mampu melihat sinar cemerlang berpendar kuat di bola mata almond milik pria yang sangat ia takuti itu.

"Kau masih mengingat dengan jelas namaku setelah berpuluh tahun kita tidak berjumpa? Sungguh aku sangat tersentuh."

"Ba ... bagaimana aku bisa berada di sini?!"

Park Jin Woo menyebrangi kamar. Membuka lemari kaca lantas menarik keluar sebotol brandy dan gelas berkaki. Setelah membuka penutup botol, ia menuangkan cairan keemasan itu ke dalam gelas. Membawanya menuju sofa bersandaran tinggi di samping ranjang. Ia duduk menyilangkan kaki dengan sangat elegan. Matanya nyalang bercampur sinar geli saat mengamati mangsanya yang akhirnya berada dalam kekuasaannya sekarang setelah sekian lama terlindungi penjagaan ketat. Mengabaikan ketakutan pada diri Violet, pria yang masih tetap atletis dan tampan di usianya yang menginjak akhir 50-an itu menyesap cairan keemasan itu pelan. Menikmati rasa pekat setiap tetes yang membakar lidah dan kerongkongan.

"Kau pasti tidak akan menyangka bahwa Leeteuk yang menyerahkanmu padaku."

Melihat bola mata Violet yang membelalak tajam serta keterkejutan yang semakin nyata membayang, tawa Park Jin Woo semakin berderai. "Ya, kamu benar. Dia bagian dari komplotanku," tebaknya sangat tepat seolah tahu apa yang mengganggu pikiran Violet.

"Januari," gumamnya ketika tiba-tiba terlintas di kepala nasib anak bungsunya. "Apa yang kau lakukan pada anakku?!" pekiknya tanpa bisa menahan lagi keresahan seorang ibu pada anaknya.

"Mungkin akan sama saperti nasib putra pertamamu. Atau bisa saja lebih buruk lagi. Menyusul Abraham ke pembaringan terakhir."

Air mata Violet tak terbendung lagi. Segala emosi tertimbun dan menggunung, tinggal menunggu beberapa detik setelahnya untuk dimuntahkan. "Kau memang iblis Park Jin Woo! Belum cukupkah kau merenggut Abraham dari sisiku dan sekarang kau mengincar nyawa anak-anakku!? Kau boleh membunuhku, tapi tidak dengan anak-anakku yang sangat aku cintai."

Teriakan histeris Violet hanya mampu menggerakkan sebelah alis milik Park Jin Woo ke atas, tapi tidak dengan hati nuraninya.

"Mian, Violet-ssi. Setiap kali aku melihat mereka, aku seperti melihat Abraham. Terutama Januari. Dia seolah memiliki duplikat yang sama persis dan kau tahu dengan sangat pasti bukan, kebencianku pada Abraham sampai mendarah daging. Apalagi anak sulungmu, Austin, gara-gara dia anak gadisku yang sangat kusayangi mati mengenaskan. Aku tentu tidak bisa membiarkan mereka hidup sampai dendamku terbayar lunas."

Januari VS Mei 🔚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang