41. Promise 2

209 28 5
                                    

Cinta yang sebenarnya adalah sebuah ruang besar yang menampung keajaiban.
Keajaiban yang membawamu pada kebahagiaan dan arti ketulusan.
Untuk terciptanya sebuah cinta saja tak melulu sederhana, tetapi juga bisa berawal dari pelik.
Butuh kepercayaan dan berbaik sangka.
Cukup terima dan hadapi.
Niscaya, cinta akan menuntunku pada tempat yang tepat.
Ialah dia yang akan rela berkorban demi pasangannya.
Ialah ia yang mau bersusah payah demi sebuah kebahagiaan yang didamba.

.
.
.

"Ah, leganya. Begini ternyata rasanya hidup normal. Aku lelah melihat hantu terus. Setiap hari rasanya bagai diteror. Mereka selalu memintaku membantu urusan dunia mereka yang belum selesai. Tapi berada di dekatmu Januari, aku merasa aman. Mereka tidak akan menggangguku karena takut padamu." Mei mendesah senang. Ia menggigit hot bar dan tinggal separuh.

Untuk menebus siang tadi, seharian ini Mei mau saja diajak ke mana pun Januari mengajak. Hingga malam menaungi kepala mereka dan mereka berakhir di Hongdae. Menikmati jajanan tradisional Korea dan berjalan-jalan. Seraya menonton busking beberapa musisi di beberapa titik di jalanan. Distrik itu memang sangat terkenal di Seoul. Menjadi ikon khas karena pertunjukan musiknya dari berbagai musisi jalanan kelas mana pun menunjukkan kebolehan bermusik mereka dan menari.

"Kalau begitu, lo harus ada di sisi gue selamanya biar lo bisa hidup normal."

Mei nyengir. Menatap Januari lugas, jika dipikir-pikir ia jadi teringat kakek tua, pembawa kotak pandora. Sejauh memorinya mengingat, pasca ia sadar dari koma dan menjadi gadis linglung, sosoknya tidak pernah lagi muncul. Segalanya terpampang tedas sekarang, Mei mengerti tujuan kakek tua itu datang menemui Mei dengan membawa pesan-pesan misterius untuknya.

"Dulu aku sangat membencimu, Januari. Kamu mengusir teman-teman tak kasatmataku hanya karena keberadaanmu saja. Waktu itu aku tidak mengerti mengapa kakek tua datang membawa teka-teki untukku. Sekarang aku paham tujuannya untuk memberitahukanku semua itu bahwa takdirku adalah dirimu. Aku sangat bersyukur dengan kehadiran kakek tua yang secara tidak langsung mendekatkanku denganmu."

"Kakek tua? Siapa dia?" Lipatan dahi Januari bertambah banyak.

"Aku tidak tahu siapa dia. Dia datang begitu saja. Kakek tua yang bijak. Aku rasa dia bukan hanya sekadar hantu. Karena berada di sisinya aku merasa nyaman sebab auranya terasa sangat positif sama percis rasanya berada di dekatmu."

"Oh, ya. Aku melihat fotonya di antara keluarga besarmu, terpajang di rumah Kak Austin. Waktu itu setelah kamu menghilang, aku diajak Go Ara sunbae ke rumah Kak Austin untuk menunjukan koleksi fotomu. Aku sangat terkejut karena aku yakin kakek yang aku temui selama ini sama percis dengan yang di foto."

Kernyihan Januari semakin banyak. "Kakek gue. Ayah dari mama. Bagaimana bisa beliau mendatangi lo?" gumam Januari mengambang.

"Jinca?" Mei kaget luar biasa.

"Iya, kakek meninggal tak lama setelah kepergian Papa. Dialah yang memberikan kalung koral yang gue pakai ini untuk penangkal aura negatif. Sewaktu kecil gue sering diganggu makhluk halus. Kakek adalah seorang guru spiritual, entah bagaimana bisa beliau membuat kalung ini sebagai penangkal."

Mei saking terkejutnya dengan fakta yang dibeberkan. "Bagaimana dengan kalungku, bagaimana bisa sama persis?" katanya seraya menyentuh kalungnya di balik mantel tebal.

"Karena guelah bocah laki-laki pertama yang menjadi teman lo. Orang yang sama yang telah mengobati luka lo dan memberikan lo kalung koral itu sebagai tanda persahabatan."

Mei menitik air mata. Tidak pernah menyangka bahwa waktu sangat berbaik hati sekarang, mempertemukan ia kembali dengan sosok bocah yang amat berharga selama lebih dari sepuluh tahun menunggu harap tak pasti dan kini bocah itu tumbuh menjadi seorang laki-laki yang Mei sangat cintai.

Januari VS Mei 🔚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang