Baca sambil dengerin musik di-mulmed. Biar ngefeel.
"Kenapa kamu lihatin aku terus?" Mei yang duduk bersandar pada bantal yang ditumpuk tinggi, merasa kikuk dan berdebar-debar. Pasalnya, Januari sejak satu jam lalu intens memperhatikannya.
Semenjak kesadarannya pulih, Januari adalah orang pertama yang ia lihat tepat ketika ia membuka mata, kemudian Jinni dan herannya semua berkumpul, mengelilinginya. Termasuk Violet, Vi dan Agus. Mereka membiarkan Januari dan Mei berduaan di ruangan yang sama. Memberikan kesempatan untuk mereka bicara.
Tidak seperti kejadian terakhir, di mana Mei butuh waktu tiga hari sebelum akhirnya ia tersadar. Kini hanya butuh satu jam saja dan semuanya bernapas sangat lega melihat Mei baik-baik saja.
"Memangnya kenapa?" Januari yang duduk bertopang dagu di sisi ranjang bertanya.
Mei yang naif menggigit bibirnya seraya menyentuh dada. "Jantungku berdegub sangat cepat dan gak nyaman rasanya."
Mengubah posisi menjadi bersedekap, Januari menyorotkan tatapan geli. "Gue sedang mengorek isi pikiran lo."
Mei berpikir bahwa Januari sangat misterius dan bertingkah melebihi keanehannya sendiri. Bagaimana tidak bila sikap Januari yang tadinya kasar dan tampak membencinya, kini berubah seratus delapan puluh derajat kembali menjadi cowok perhatian seperti sebelum-sebelumnya. Apa tadi yang dia bilang? Mengorek isi pikiran? Yang benar saja.
"Lo pakai jaket gue?" tanyanya retoris.
Mei menunduk. Melihat pakaian yang melekat di tubuhnya. Ia meringis. "Maaf belum sempat aku kembalikan."
"Gak usah. Buat lo aja."
"Benarkah? Makasih." Binar kesenangan terefleksikan baik di kedua mata Mei. Membuat Januari tersenyum kecil.
"Biar kalau kangen gue, lo tinggal peluk jaket itu aja."
Pipi Mei langsung memerah. Apa sih? Gombalnya bikin Mei dag-dig-dug. Tahu saja kalau cuma jaket Januari yang jadi pelampiasan kerinduan Mei. Seperti waktu ia sakit dan diultimatum Vi untuk tidak berdekatan dengan Januari, Mei memakai jaket Januari tidak hanya untuk menghangatkan tubuh, tapi juga untuk mengobati hatinya yang terlanjur galau akibat menahan rindu tidak bertemu sehari saja dengan Januari.
Karena gemas, Januari tidak bisa menahan diri untuk mengelus puncak kepala Mei. Gadis itu membawa tangan Januari yang bertengger pada kepalanya ke pangkuan, memainkan jemarinya satu per satu.
Mei menatap lekat, wajah Januari. Bekas pukulan masih sangat jelas terlihat. Membuatnya sangat iba dan terluka. "Januari, bagaimana kamu bisa pingsan kemarin dan terluka parah seperti ini?"
"Biasa cowok, kalau gak bikin masalah, ya cari masalah. Tapi Bang Agus, Om Jey dan tiga curut lainnya turut andil bikin gue berakhir di sini."
"Apa yang sudah mereka lakukan?"
"Membuat skenario seolah-olah Bang Agus dirampok. Mau tak mau gue terpancing dan berusaha menyelamatkan dia. Sayangnya gue terlambat menyadari kalau semua itu hanyalah pura-pura, Om Jey lebih dulu membius gue dan mereka membawa gue ke sini."
"Kenapa mereka setega itu?" Mata Mei membola.
"Lebih tepatnya Bang Agus yang tega. Dia otak di balik penyiksaan gue. Dia sengaja melakukan itu agar gue gak terlalu menyalahkan diri sendiri dan memperbaiki kesalahan gue sama lo. Gue akui rencananya yang licik berhasil membuka pikiran gue yang picik."
Gantian Januari yang memainkan jemari Mei lantas menautkannya di sela jarinya. "Maaf. Sudah buat lo khawatir dan menyakiti lo. Gue pikir dengan menyakiti lo, lo akan membenci gue karena gue rasa gue gak pantes buat lo. Karena gue lo jadi begini. Mungkin dengan kita berpisah, semua akan kembali seperti semula. Gue dengan hidup gue yang penuh masalah dan lo hidup dengan tenang. Tapi sulit ternyata jauh dari lo. Sudah gue coba gak jenguk lo selama tiga hari dan itu sangat menyiksa. Keputusan bodoh kalau gue ninggalin lo sekarang. Gue gak akan ninggalin lo lagi. Dan terima kasih lo masih mau bertahan sampai sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Januari VS Mei 🔚
FantasiHana mati dua tahun lalu. Arwahnya bergentayangan, mengusik si anak Indigo bernama Mei. Saat itulah Mei tahu, bahwa urusan Hana di dunia belum selesai. Dan itu menyangkut si ketua geng Lucifer, Januari yang amat sangat Mei benci.