2. Serendipity

751 77 6
                                    

Mei amat bahagia. Senyumnya tak pernah pudar hingga saat ini jam istirahat pertama sedang berlangsung. Tugas kelompok yang bagi kebanyakan teman kelasnya dianggap beban, sebaliknya bagi Mei adalah kebahagiaan. Meski sebatas tugas kelompok, setidaknya dengan begitu teman-temannya mau mendekatinya, walau dengan keterpaksaan.

"Tampaknya kau sedang bahagia."

Mei melirik ke tempat duduk di sampingnya. Seorang kakek tua berjenggot putih. Menciptakan lengkungan bulan sabit di bibirnya.

"Kakek?!"

Kakek tua itu mengelus jenggotnya yang panjang sembari melempar senyum teduh.

"Aku bahagia sekali, Kek. Gara-gara tugas kelompok dari Guru IPS, teman-teman di kelas akhirnya mau mengajakku ngobrol."

"Aku sudah bosan berteman dengan makhluk gaib. Mereka sangat membosankan, apalagi kalau aku bertemu dengan makhluk yang pendiam, cuma bisa bikin kesal. Tapi terkadang aku bertemu yang menyeramkan dan membuatku sangat takut. Mereka memaksaku untuk menyelesaikan urusan dunia mereka yang belum selesai. Kadang ada juga yang menyenangkan. Kami akan saling bercerita apa saja." tanpa sadar Mei menumpahkan semua keluh-kesahnya.

Gadis itu menceritakan pengalamannya bertemu dengan banyak tipe hantu. Dia saja takjub sendiri. Terkadang tawanya menyeruak saat mengisahkan hantu bocah laki-laki keturunan Eropa penghuni abadi kamarnya, suka sekali bermain petak umpet dengan Mei. Namanya

"Ada juga, Kek. Perkumpulan wanita penggosip. Mereka sering berkumpul di ujung gang dekat gardu satpam. Mereka selalu menggosipkan orang-orang yang lewat di depan mereka. Terkadang mereka juga mengganggu pengendara motor. Mereka akan naik di jok belakang dan akan mengganggunya. Tak jarang bikin pengendara itu kecelakaan."

Kakek tua itu masih setia mendengar cerita Mei yang terdengar sangat menarik tanpa berniat untuk menimpali.

"Tapi akhir-akhir ini seorang gadis berseragam sama sepertiku sering mendekatiku. Wajahnya cantik, sayangnya sangat pendiam. Dan pagi ini dia datang memperingatiku untuk berhati-hati. Apa Kakek mengenalnya? Apa Kakek tahu apa yang dia inginkan?"

"Belum saatnya kau tahu, Nak."

"Kenapa?" Mei dihantui rasa penasaran. Terlebih kakek itu memang sangat misterius. Apa yang sering terlontar dari mulutnya, menyimpan banyak misteri. Mei kadang kala hanya mengedikkan bahu, tak ambil pusing bila pernyataan kakek itu membuat dahinya berkerut-kerut.

"Kakek hanyalah penyampai, bukan penggenggam takdir manusia. Bila Sang Penggenggam takdir menghendaki, niscaya tidak ada yang dapat menyangkalnya."

Mei menyerah. Dia tak ingin melanjutkan obrolan kalau ujung-ujungnya harus dipaksa berpikir keras.

"Yang harus kau lakukan hanyalah satu, hadapi. Jangan takut. Jangan menghindar. Sebuah kunci akan membuka kotak pandora. Tidak sulit menemukan kunci tersebut. Kau hanya perlu menerima takdir."

Gadis itu memeras otak. Dia bukan detektif Conan yang dengan mudahnya memecahkan kasus. Walaupun pintar, kalau disuruh menebak teka-teki ia jamin perutnya akan mulas mendadak.

"Ingat, Nak. Hadapilah!" mendadak tubuh pria tua itu melindap, lalu perlahan lenyap.

Mei menoleh ke sana kemari. Tidak lucu jika ia dibuat penasaran setengah mati, lalu setelahnya kakek tua itu dengan entengnya pergi begitu saja.

"Hai!"

Sapaan Januari membuatnya terkesiap. Lantas ia menunduk, mengomeli keberadaan Januari yang tiba-tiba. Ia berasumsi kepergian sang Kakek karena ulah cowok itu.

"Maaf untuk yang tadi pagi. Lo gak apa-apa kan?"

Gadis itu memutuskan untuk bangkit dari duduk. Sekali lagi ia mengingatkan diri sendiri, bahwa berurusan dengan Januari adalah kesalahan besar. Namun, sayangnya tangannya dicekal. Sulit untuk mengelak.

Januari VS Mei 🔚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang