15. 21st Century Girls

634 62 11
                                    

"Kamu tampaknya sangat senang sekali."

"Masa sih? Keliatan banget ya?" Mei tersenyum semringah. Saat ini Mei berjalan bersisihan di samping Niko, membantunya membawakan buku-buku paket ke perpustakan.

"Banget. Emang apa yang sebenarnya terjadi?"

"Temanku bertambah satu sekarang."

"Siapa?" tanya Niko penasaran.

"Januari."

Niko menoleh cepat. "Jadi, kalian sudah baikan?"

Mei mengangguk cepat. Sangat bersemangat. "Dia begitu baik. Sudah menolongku berkali-kali. Meskipun caranya sangat kasar dan semaunya sendiri. Aku tetap bersyukur dan sangat berterima kasih padanya."

"Oh." Cuma kata itu yang mampu diucapkan Niko. Gadis itu tidak tahu bahwa wajahnya yang mendadak jutek adalah representasi dari rasa cemburu di hati.

Setelahnya Niko bungkam. Keterdiamannya berlanjut sampai keduanya kembali ke kelas. Tanda tanya besar bergelayut di kepala Mei. Kenapa Niko mendiamkannya tiba-tiba?

Rere menghampiri Mei. "Tadi Kak Januari ke sini, cari kamu."

Mata Mei melebar. "Ngapain?"

Rere mengedikkan bahu. Malah ia layangkan kedipan menggoda. "Aku mencium ada bau-bau something special."

"Maksud kamu apa? Aku gak paham," tukas Mei menatap Rere polos.

Rere memutar matanya. Dipikirnya Mei adalah gadis paling gak peka sedunia. Berhubung Rere malas menjelaskan, ia mendorong bahu Mei agar segera bergerak. "Udah sana temui Kak Januari di rooftop."

Bingung, tapi tetap melangkah keluar. Kepalanya berisi pertanyaan untuk apa Januari mencarinya. Dia akan menemukan jawabannya setelah bertemu dengan cowok itu nanti. Sementara itu Niko menatap punggung Mei menjauh. Mendengar pembicaraan kedua gadis itu, kian menambah ketidak sukaan. Rere heran melihat mimik Niko. Antara ingin berbasa-basi dan tidak, ia lebih memilih urung menghampiri Niko dan kembali ke bangkunya untuk menuntaskan bacaan. Namun, Rere sekali lagi menatap Niko tatkala kepalanya terbesit pikiran gila. Ia menyeringai dengan asumsinya sendiri. Bahwa sikap Niko yang tidak sedap dipandang itu karena satu alasan. Cemburu.

Di tempat lain, Mei melangkah mantap sepanjang koridor, tetapi terdistraksi dengan angin dingin yang tiba-tiba terembus di dekatnya. Terpaksa ia menghentikan langkah demi mengamati sekitar. Kira-kira tiga meter dari titiknya berdiri, Hana muncul berjalan lemah menembus tubuh-tubuh manusia di depannya.

Mei mengerutkan kening, antara penasaran dan pura-pura tak peduli. Ternyata rasa penasaran lah yang menang mengingat ia sudah berjanji untuk mengorek fakta kematian Hana yang menurutnya ganjil itu. Lantas ia mengikuti jiwa itu dan melupakan tujuannya untuk menemui Januari.

Mei di bawa ke belakang sekolah. Tempat yang banyak ditumbuhi semak-semak belukar dan bahan bangunan yang tak terpakai. Jelas tempat itu tak terurus dalam kurun waktu cukup lama.

Mendadak rasa sakit pada kepala menghantamnya. Membuatnya terduduk di tanah seraya memegangi kepalanya. Ia mengerang sebab sakitnya yang tak tertahankan. Awalnya berupa siluet hitam, lama kelamaan berubah membentuk kilasan-kilasan rumit bagai slide yang memusingkan. De ja vu.

Air matanya meluncur bukan tanpa alasan. Bukan karena menahan sakitnya, tetapi karena aura di sekelilingnya yang berubah terasa kelam dan menyedihkan. Kilasan pertama, Mei samar melihat seorang gadis duduk di antara tumpukan kayu, tempat yang sama dengan keberadaan Mei sekarang, hanya masalah waktu saja yang membedakan.

Gadis itu menangis tanpa sebab. Lalu tak lama seorang pemuda tanggung menghampirinya. Seragam atasannya tidak dimasukkan ke dalam celana, tanpa mengenakan blazer pula. Jauh beda dengan murid pada umumnya yang patuh pada peraturan. Pemuda itu membawa buku lalu menyerahkannya pada gadis itu. Gadis itu hanya menatapnya dan tangisnya berhenti.

Januari VS Mei 🔚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang