Seoul yang dingin. Ribuan gerutuan menggumpal di setiap kepala pejalan kaki. Tuntutan pekerjaan, permasalahan hidup, hingga kendala kecil lainnya. Bagi Januari, semua itu tak lebih dari sekadar angin lewat. Tak berarti apa-apa ketika otaknya terkontaminasi afeksi amat kronis.
Hari itu akan jadi hari terkenang sepanjang masa. Harus dicatat. Sebab bebannya telah runtuh oleh sebuah genggaman sederhana yang nyata. Bukan lagi mimpi di siang bolong. Kalau pun ia gila sekarang, penyebabnya jelas Mei seorang.
Satu-satunya tertuduh yang kini mengumbar senyum amat manis. Januari yakin, jika ia seorang yang norak dan bukan terlahir menjadi pria keren, dia akan kejang-kejang sekarang.
"Sebenarnya kita mau ke mana?" tanya Mei. Ia sangsi. Pasalnya selepas dari kampus, mereka hanya berjalan-jalan saja sambil bergandengan tangan.
Kini pun mereka tak jelas ke arah mana tujuan mereka.
Masih segar dalam ingatan Mei, bagaimana ekspresi keheranan para mahasiswi melihat mereka bagai keajaiban dunia. Pasalnya Mei dan Januari populer dengan ketidakakuran setiap kali bersitatap. Tidak ada cuti untuk berdamai. Selalu bersitegang.
Namun hari itu mereka sedang berpikir, mungkinkah dunia sudah kiamat? Bagaimana bisa dua kubu yang tak pernah akur bisa berubah drastis; gencatan senjata. Bahkan jauh lebih mesra dari yang pernah mereka duga. Selayaknya sepasang kekasih yang lama berpisah jauh. Aneh, tetapi baik Mei atau pun Januari tak mau terlarut pusing. Mereka tak ingin kebahagiaan mereka dirusak oleh hal yang tak penting.
Sebagai gadis yang hatinya sedang berbunga-bunga selayaknya merasakan jatuh cinta pertama kali, ke mana pun Januari membawanya, Mei mau-mau saja. Dia sudah cinta buta.
Untungnya kewarasan Mei yang sempat tertutup oleh perasaan mabuk cinta, ambil peran.
"Gak tahu."
"Kok gak tahu."
"Gue pengin menikmati berduaan sama lo selagi ada waktu banyak."
"Kenapa? Aku di sini. Tidak akan ke mana-mana lagi."
"Dua tahun bukan waktu yang sebentar jika ada di posisi gue. Harus dipaksa tersiksa rindu setiap detik sementara yang dirindukan gak ingat gue. Dan gue merasa gue harus manfaatin waktu sebaik-baiknya untuk mengganti kesakitan gue dengan lebih banyak bersama lo." Januari berhenti, melempar tatapan yang tak bisa Mei baca.
Mata Mei mengembun. Genggaman Januari pada tangan Mei menjadi lebih erat. Ia terkekeh. Mengusap kepala berbandana itu dan menuntunnya jalan lagi.
"Gak usah merasa keadaan kita adalah salah lo. Yang lalu gak usah diungkit lagi. Gue gak ingin ngerusak momen bahagia kita dengan hal sedih, oke?"
Perasaan Mei membaik. Hanya dengan melihat senyum manis Januari segalanya tidak perlu dikhawatirkan lagi.
"Januari, ada sesuatu yang mengganjal dan aku baru mengingatnya sekarang. Kamu mau menjawabnya?"
Januari berhenti lagi. Memandang serius.
"Ini menyangkut masa lalu. Aku tahu kamu gak akan mau membahasnya, tapi aku butuh tahu apa yang terjadi terkahir kali. Aku tidak ingat apa-apa selain di roftoop dan memburuk setelahnya." Mei memohon lewat tuntutan sorot matanya yang mendalam.
Sejenak Januari berpikir. Ia mengangguk. "Mau bicara di mana?"
Ada sebuah bangku panjang dinaungi pohon cherry blossom yang meranggas. Yang hanya akan bermekaran pada bulan Maret dan April saja. Sayang pohon itu botak. Januari pikir jika musim dingin telah berakhir dan musim semi berkunjung, tempat itu akan jadi tempat teromantis yang bersejarah untuk mengikat Mei.
KAMU SEDANG MEMBACA
Januari VS Mei 🔚
FantasiHana mati dua tahun lalu. Arwahnya bergentayangan, mengusik si anak Indigo bernama Mei. Saat itulah Mei tahu, bahwa urusan Hana di dunia belum selesai. Dan itu menyangkut si ketua geng Lucifer, Januari yang amat sangat Mei benci.