Matahari telah meninggi. Sinarnya menyusup melewati kisi-kisi jendela dan ventilasi. Membuat kedua alis legam itu mengerut. Perlahan sepasang kelopak mata itu terbuka. Mengerjapkannya pelan demi menyesuaikan penglihatan.Putih.
Januari mengerang. Kepalanya dihantam pusing tak terkira. Mencoba menggali ingatannya terakhir kali sebelum ia terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit.
Ah! Dia lupa.
Sementara ini yang perlu dipikirkan adalah kesehatannya. Mungkin nanti setelah dia benar-benar sehat, dia akan menuntut penjelasan pada Agus.
Pandangannya mengayun pada jam dinding. Sudah jam 9 rupanya. Dia sudah melewatkan waktu subuh, keluhnya. Sesuatu yang berat menindih tangan kanannya. Ia melirik. Seorang gadis duduk seraya menelungkupkan kepala beralaskan lengan yang terlipat. Napasnya mengalun pelan. Tertidur pulas.
Tangannya tergelitik untuk menyibak rambut yang menutupi wajah. Dan tampaklah seraut polos Mei yang tengah terpejam. Jejak basah pada kedua pipi jelas terlihat, membuat Januari tersenyum miris. Seolah ada yang mencubit hatinya.
Dahi gadis itu berkerut-kerut ketika matahari bersinar menyilaukan. Dengan menahan rasa sakit, Januari bangkit terduduk. Bermaksud menghalangi sinarnya. Mei kembali tertidur nyaman dalam lindungan bayangan Januari.
Januari memperhatikan setiap inci wajah Mei. Rasanya sudah lama ia menahan rindu untuk tidak menemui Mei. Tanpa sadar ia mengusap kepala Mei. Dia akan menyimpannya untuk beberapa waktu ke depan karena dia sudah memutuskan untuk menyerah.
😃
Mei membuka mata ketika seorang suster mengguncang bahunya. Dia panik tatkala ranjang dalam keadaan kosong.
"Suster, lihat Januari tidak?!"
"Justru itu yang saya ingin tanyakan ke kamu."
Mei mendorong tiang infus menuju ke kamar mandi. Wajahnya semakin keruh tidak menemukan Januari di sana. Gegas ia keluar meninggalkan sang suster yang melongo kebingungan.
Air mata sudah merebak sepanjang langkahnya menyusuri tiap koridor demi mencari sosok Januari, tapi belum juga ia menemukannya. Cemas dan takut menjadi satu kalau-kalau terjadi hal buruk menimpa Januari. Apalagi keadaan cowok itu yang baru saja tersadar dari pingsan.
Lelah memaksanya untuk duduk. Tidak tahu harus bagaimana lagi.
"Lihat pemuda itu ganteng ya? Mirip personel BTS kalau dilihat dari jauh. Siapa namanya?"
"Ah! Jeon Jungkook!"
Mana yang mirip Jungkook? Kepala Mei cepat bergerak kanan kiri untuk mencari sosok yang dibicarakan dua suster yang tengah menggosip di dekatnya.
Yang dia temukan bukannya Jungkook, melainkan Januari yang tengah duduk di bangku taman di temani sekaleng soda.
Tunggu dulu! Kalau yang mereka bicarakan Jungkook mirip Januari berarti Mei sudah menemukannya. Ekspresinya yang muram tadi berganti secerah matahari pagi. Kontan ia bangkit, tapi pembicaraan selanjutnya dua suster itu mengurungkan langkah kaki Mei untuk mendekati Januari.
"Seingatku dulu dia sering datang kemari. Membawakan seikat bunga untuk gadis yang dirawat di sini karena gangguan psikologis."
"Benarkah? Perhatian sekali. Apa gadis itu pacarnya?"
"Dilihat dari sikapnya ke gadis itu kemungkinan besar iya. Di saat penyakitnya kambuh, dia sering mengamuk, menghancurkan apapun di depan mata. Dokter dan perawat saja sulit menghadapinya. Tanpa menyuntiknya dengan obat penenang mustahil gadis itu menjadi tenang. Tapi cowok itu hanya dengan menatap matanya saja, gadis itu langsung tenang. Aku masih ingat bagaimana perhatian dan sabarnya cowok itu menghibur gadis itu. Aku saja sampai iri dan ingin punya pasangan sebaik dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Januari VS Mei 🔚
FantasyHana mati dua tahun lalu. Arwahnya bergentayangan, mengusik si anak Indigo bernama Mei. Saat itulah Mei tahu, bahwa urusan Hana di dunia belum selesai. Dan itu menyangkut si ketua geng Lucifer, Januari yang amat sangat Mei benci.