Entah berapa sekon yang dihabiskan Mei melipur laranya di depan pintu flat Januari. Selain isak yang tak kunjung tuntas, ia belum mau mengakhiri rindu.
Jika matanya masih gerimis, terpaksa Mei hapus paksa. Ia bangkit. Menyerah karena kelelahan duduk tanpa arah pasti. Ia butuh istirahat dan mengisi daya tubuhnya yang terkuras lewat emosional.
Tunggu! Keanehan baru ia sadari sekarang. Seharusnya ia melihat hal gaib ketika jiwanya anjlok, tapi mengapa kali ini tak terjadi apa pun.
Ia menelusuri lorong sunyi itu, masih lengang. Tidak ada sekelebat teror hantu. Apakah kemampuannya yang sedang bermasalah?
Derit mengerit mengejutkan Mei. Memaksakan sendi lehernya memutar pada pintu Januari dan ia mendelik horor. Celah terbentuk makin lebar. Membangkitkan ketakutannya.
Sial bukan lorong di mana Mei memprediksi munculnya hantu, melainkan lewat pintu Januari. Mei siaga memutar kenop pintu flatnya, tapi suara, "Lo ingat semuanya?" Mengurungkan gerak motorik tangannya.
Ia memaku. Pungungnya sekaku kayu pasak. Suara ini tak lain dan tak bukan milik satu-satunya orang yang keberadaannya dinanti di tiap kucur air matanya.
Mei seketika membalikkan tubuh. Sempurna sudah sosok Januari di matanya. Tangisnya pecah seketika.
Untuk sekian sekon berganti menit hanya ada elegi Mei mengisi sekat keduanya.
Januari berdiri di sana mempertahankan geming. Memandang sendu Mei dan ia masih betah dengan ketidakpercayaan tentang keajaiban yang ditunggunya kini datang selayaknya bintang jatuh. Mengejutkan sekaligus menakjubkan.
"Kamu ke mana saja? Aku merindukanmu, Januari."
"Aku ingat semuanya."
"Maaf."
"Maafin aku."
"Gue sejak kemarin di sini, Mei. Menenangkan hati yang patah."
"Kamu pergi pasti karena menyerah, kan? Menyerah karena lelah berusaha mengembalikan ingatanku yang lama kembali."
"Nggak. Gue nggak pernah nyerah. Bahkan kalau gue dipaksa nunggu ingatan lo lima tahun atau sepuluh tahun lagi. Gue sanggup kok Mei."
"Lalu kenapa kamu pergi menghilang berhari-hari? Apa salahku? Katakan Januari!" desak Mei. Embun di matanya makin mengaburkan sosok Januari yang tengah dirundung kemelut.
Ujung lidah Januari menekan dinding pipi dalamnya. Membuang wajah ke samping. Menatap Mei hanya akan membuat ingatan malam itu kian tedas dan memperdalam luka kian robek.
Namun ketika ingatan Mei kembali, Januari tidak punya alasan lagi untuk menghindar. Ia menghela napas. Sudahlah, lagipula kesalahan Mei tidak ia sengaja. Kesalahan yang tak ia sadari ia lakukan saat kehilangan memori. Membiarkan Niko menciumnya.
"Hari di mana lo kencan sama Niko, gue buntutin kalian seharian. Rasanya gue pengin nonjok Niko. Seenaknya pegang cewek yang gue suka. Gue juga pengin misahin kalian dan bawa lo kabur. Tapi kalau gue ngelakuin itu, lo bakalan makin benci gue. Yang bisa gue lakuin cuma lihatin kalian dari jauh dan nahan cemburu sendirian."
Sembilu menggoreskan lebih banyak pedih. Mei dihantam siksa penyesalan, membayangkan Januari harus dipaksa menanggung kesakitan saat ia bangun dari tidur pada pagi harinya. Lantas melalui hari hingga jarum jam berputar sempurna 360 derajat berteman patah hati. Bahkan tak hanya berhari-hari, melainkan bertahun-tahun.
Tidak perlu diberitahukan keras-keras, Mei yang tak merasakan langsung perasaan Januari pun sangat paham jenis rasa sakit itu. Melihat orang yang disukai bertukar tawa dan saling menatap suka. Sementara Januari hanya diam saja selama ini, tanpa mau membagi lukanya pada Mei.
KAMU SEDANG MEMBACA
Januari VS Mei 🔚
FantasiaHana mati dua tahun lalu. Arwahnya bergentayangan, mengusik si anak Indigo bernama Mei. Saat itulah Mei tahu, bahwa urusan Hana di dunia belum selesai. Dan itu menyangkut si ketua geng Lucifer, Januari yang amat sangat Mei benci.