33. Crystal Snow

136 27 9
                                    

Sudah sepuluh lembar foto polaroid yang berhasil Januari ambil hari itu. Dan belum menambah lagi karena tidak ada objek yang menarik. Beralih dari kameranya, ia mengamati satu per satu mahasiswi keluar dari fakultas kesenian. Setengah jam ia duduk di rerumputan dan selama itu pula ia belum menemukan presensi orang yang dinantinya.

Menatap ke langit sejauh mata memandang yang ditemukannya berupa arak-arakan sekumpulan kapas kelabu yang menutupi seluruh birunya langit. Musim dingin hampir berakhir. Salju sebagian telah mencair. Namun, masih ada butiran kristal putih yang melayang dan jatuh ke daratan, meski tidak sederas bulan-bulan lalu. Januari pun merapatkan jaket. Dingin.

"Pasti sedang menunggu dia."

Tepukan di pundak Januari membuat cowok itu memutar kepala dan menemukan Kim Namjoon duduk di sebelahnya. Pernyataan Namjoon hanya ditanggapi Januari dengan seutas senyum tipis saja.

Tiga tahun masa kedekatan mereka akhir-akhir ini membuat mereka tahu kebiasaan masing-masing. Januari bersyukur pernah mengenal orang sehebat Namjoon-sahabat Agus yang lain, selain Vi yang sukses membuat Januari bersitegang tiap kali bertemu. Namjoon berbeda tentu saja. Karisma yang dimiliki Namjoon begitu silau, terkadang membuat Januari segan. Selain Agus, Pria setinggi 181 senti itu patut dijadikan panutan. Tidak jarang seorang Januari yang memiliki tingkat arogansi dan kelabilan remaja, meminta banyak nasihat dan saran. Hingga menjadikan Januari sedewasa seperti sekarang ini berkat kata-kata bijak Namjoon.

"Sudah berapa gadis di kelas yang sudah terjerat pesonamu, Bang?"

Namjoon terkekeh. Dia baru saja mengisi kelas sebagai dosen tamu. Mengajar banyak hal tentang musik dan seingatnya separuh kelas yang diisi manusia cantik menatapnya kagum.

"Aku tidak yakin mereka semua memahami penjelasanku tadi saking terpesona akan ketampananku. Ha ... ha ...." Dimple pria itu bahkan sangat jelas terlihat saat ia tertawa.

Januari mencibir dan membuang muka ke pintu masuk gedung kesenian. "Narsis."

"Kudengar dia sedang didekati banyak namja. Tidak heran sifat menggemaskannya membuat namja-namja menaruh perhatian lebih padanya."

"Kau tahu, baru saja kau menghancurkan mood-ku."

"Well!" Namjoon berkata di sela tawanya yang menggelikan. "Melihat dia masih antipati padamu, usahamu untuk mendekatinya selama ini tidak ada progres yang berarti. Kau harus mengubah sikap kejammu padanya dengan lebih lembut seperti kebanyakan namja yang mendekatinya dengan gombalan dan mawar, kujamin dia akan bertekuk lutut."

"Dia membenciku sejak pertama kami bertemu dan menganggap aku jurik. Bersikap lembut padanya tidak akan mengembalikan ingatannya kembali."

"Jadi, kau berasumsi bahwa tetap melanjutkan kesan bermusuhan padanya adalah cara efektif untuk membuatnya kembali? Sudah dua tahun, Januari. Bukannya dia mengingat semua, dia malah semakin membencimu."

Kalau sedang gusar, Januari akan menekan pipi dalamnya dengan ujung lidah. Jujur dia tak tahu harus berbuat apa. Jurang keputus asaan berada di kakinya. Salah langkah sedikit saja, dia akan terjun bebas dan akan merasakan sakit hati tak berujung.

"Then, what should i do? Jika aku mengatakan sejujurnya, akankah ia mau aku dekati? Kau tahu, Bang, dia pasti akan lari dan semakin membenciku."

Namjoon benar. Perjuangannya tidak ada progres sama sekali. Tidak seperti salju yang sekarang telah mencair, hati yang sedang Januari perjuangkan belum juga mencair. Mungkin saja malah semakin membeku. Apa Januari tidak perlu lagi menunggu hati itu mencair, tapi langsung saja ia pecahkan dengan palu godam? Idenya sungguh ekstrim, namun patut dicoba. Januari terlalu putus asa sekarang, makanya ia mulai berpikiran yang tidak-tidak.

Keduanya menarik napas nyaris bersamaan. Januari menatap gedung dengan tatapan sayu, sedangkan Namjoon menatap Januari dengan iba. Anak 20 tahun di sampingnya sudah melalui banyak hal menyakitkan dan hebatnya Januari bisa melaluinya hingga saat ini. Belum tentu seorang Namjoon bisa bertahan sejauh ini jika diposisikan sebagai Januari. Begitu berat batu yang dipanggul di punggung Januari, Namjoon tidak yakin bisa membawa batu sebesar itu setiap harinya.

Kini batu besar sudah tidak ada, tapi muncul batu baru yang lebih besar dari sebelumnya yang harus dipikul Januari. Batu besar itu menghancurkan hati dan harapan Januari setiap harinya. Dan sekali lagi, Namjoon kagum akan hebatnya Januari yang masih berusaha memungut pecahan kecil harapan setiap harinya pula dan menyatukannya pelan-pelan, meski harus hancur lagi. Ia tidak menyerah untuk memungut dan menyatukan lagi dan lagi.

"Jangan menatapku kasihan. Yang lebih kasihan itu Abang, di usia sekarang masih saja mempermainkan hati wanita. Pikiranmu juga perlu diadakan pembersihan massal."

Namjoon tidak tertawa ataupun tersenyum. Tidak juga mempermasalahkan kelebihan Januari yang satu itu; membaca pikiran, lantas menyindirnya. Ia malah memberikan tepukan pelan di bahu Januari. Sebagai bentuk rasa simpati yang tersirat. Itu lebih cukup dari sederetan kalimat motivasi meluncur dari bibirnya yang pasti tidak Januari butuhkan untuk saat ini.

Melihat seseorang yang ditunggunya keluar, Januari bangkit. Memasukkan hasil jepretannya ke dalam tas punggung. Praktis lingkaran lengan Namjoon di bahunya terurai.

"Fighting!" hanya itu yang diberikan Namjoon mengetahui aksi apa yang sebentar lagi akan Januari lancarkan. Januari memberikan seringaian sebelum berbalik dan pergi.

Melihat seringai licik yang khas baru saja ditunjukan Januari, Namjoon yakin pemuda itu menyerok kepingan harapan lagi. Tidak pernah kapok akan kegagalan. Namjoon perlu bertepuk tangan dan angkat topi atas ketangguhan pemuda yang umurnya terpaut 7 tahun lebih muda darinya.

Namjoon memutuskan tetap tinggal sejenak untuk melihat dan memuaskan rasa ingin tahunya. Ia pun terkesiap dan tertawa cukup nyaring hingga membuat mahasiswa-mahasiswi berjalan di sekitarnya menengoknya penasaran.

"Heol, namja itu tidak pernah kehabisan akal. Ada saja hal ajaib yang tidak pernah terpikirkan olehku. Dia benar-benar sulit ditebak."

"Mata itu dipake, bukan buat pajangan doang! Lihat apa yang lo perbuat! Lo harus ganti rugi."

Suara Januari terlampau keras. Lebih tepatnya terdengar sebagai hinaan dan ultimatum. Berbaur dengan Januari, membuat Namjoon terbiasa dan mengerti bahasa ibu Januari. Sehingga ia sangat paham apa yang diucapkan Januari barusan.

Walau terbilang kasar, Namjoon tahu Januari tidak benar-benar mengatakannya dari relung hati. Kasihan gadis itu, pikir Namjoon sambil geleng-geleng kepala. Kehidupannya di universitas tidak pernah tenang semenjak Januari mengusiknya.

.
.
.

953 words. Pendek ya? Sengajaaaaa....
Bikaus, lagi pengin nulis yg pendek-pendek.

Januari VS Mei 🔚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang