4. Stigma

724 70 7
                                    

Saat Mei melewati gerbang sekolah pagi ini, seseorang dengan sengaja menyenggol bahunya hingga menyebabkan badannya terdorong ke depan. Untung tidak jatuh.

Ia mengenali siapa yang mendorongnya. Ellina Feronica. Kalau Januari most wanted-nya Sekolah Pelita, Ellina adalah primadonanya. Kalian bisa bayangkan sendiri sosoknya dengan title tersebut. Selain primadona, dia terkenal dengan julukan Ratu Bullying. Mei adalah salah satu korban yang sering mendapat teror dari Ellina.

Meski terlahir blasteran Indo-Jerman dan kecantikannnya tidak perlu dipertanyakan lagi, bagi Mei, Ellina jelmaan setan yang sesungguhnya.

Terakhir kali Ellina dan kawan-kawannya, menumpahkan isi keranjang sampah ke kepala Mei, saat gadis itu sedang di kamar mandi siswa. Kesal, tapi cuma bisa pasrah. Bagaimanapun diam lebih baik daripada harus membalas yang ujung-ujungnya keselamatannya di sekolah tidak akan terjamin.

Nahas sepertinya waktu tidak berpihak padanya untuk sekarang. Di dalam hati, ia merapal doa semoga hari buruk tidak ikut menyertainya.

"Minggir, cewek aneh!"

Mei menurut. Melihat mata dan senyum sinismenya saja, tengkuk Mei langsung meremang. Pikirannya langsung menyuruhnya pergi, secepat kilat ia berlari menjauh. Teriakan Ellina yang ratusan desibel mampu mendistraksi atensi khalayak ramai. Mungkin kalau Mei masih di sana, gendang telinganya akan pecah.

Sampai di depan kelas, napas Mei langsung ngos-ngosan. Dadanya terasa nyeri. Asma-penyakit yang dideritanya sejak kecil-sepertinya kambuh. Padahal sepanjang ia bersekolah sampai sekarang, belum pernah penyakitnya kambuh separah ini.

"Mei? Kamu kenapa?"

Niko menatap heran Mei yang tengah menyandarkan punggungnya pada tembok kelas. Saking sulitnya bernapas, Mei sukar mengeluarkan kata-kata.

Niko yang paham, mendekat. Tangannya mengulur melewati bahu Mei, tanpa ia sadari ia melupakan ketakutannya terhadap gadis itu.

"Kita ke UKS!"

Mei hendak menolak, tapi sepertinya Niko terlihat khawatir sehingga ia memapah begitu saja tubuh Mei. Gadis itu pasrah saja.

Sampai di UKS, Niko menyuruh petugas medis memeriksa keadaan Mei. Petugas medis menyuruh Mei duduk di tempat tidur.

"Bawa inhaler?" tanyanya.

Mei mengangguk. Niko membantu mencarikan inhaler di tas punggung Mei. Ketemu. Langsung ia serahkan pada petugas medis. Lalu petugas itu membantu Mei memakainya.

Berangsur-angsur napas Mei mulai teratur. Meskipun penyakitnya tidak pernah kambuh saat sedang sekolah, ibunya tetap memaksa Mei membawa inhaler ke manapun. Supaya sewaktu-waktu penyakit itu datang, dia dapat melakukan pertolongan pertamanya sendiri.

"Sebaiknya kamu gak usah ikut pelajaran dulu. Istirahatlah di sini. Nanti aku buatkan teh hangat."

Mei tampak ragu, Niko yang melihatnya langsung berkata, "istirahatlah. Jangan cemaskan pelajaran. Cemaskan kesehatanmu saja. Aku janji akan meminta izin pada Bu Dira kalau kamu sedang sakit."

Mei mengangguk. "Terima kasih, Niko."

Mendapati senyum terkembang pada bibir Mei, sontak menimbulkan debaran aneh yang mendobrak pada rongga dadanya. Refleks ia menggaruk bagian belakang kepalanya.

"Sama-sama," jawabnya salah tingkah.

"Semoga cepat sembuh. Aku ke kelas dulu." Niko melesat pergi meninggalkan Mei sendirian. Entah kenapa berduaan saja dengan gadis itu membuatnya tidak kuat berlama-lama di sana.
Mungkin dia takut perasaannya pada Mei semakin menggebu dan jelas itu tidak baik.

Januari VS Mei 🔚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang