11. Fire

569 57 7
                                    

Perkataan Vi selalu terngiang di kepala Mei semenjak ia menyuruh Mei untuk tidak lagi berdekatan dengan Januari. Seharusnya Mei bahagia, seminggu ini dia tidak lagi berurusan dengan si Jurik. Di sekolah pun, cowok itu seakan tidak mengenalnya sewaktu mereka tak sengaja berpapasan.

Itu artinya mereka sama-sama menjauh.

Meski saling menjauh, masalah tak serta merta hilang begitu saja. Memang benar jika dia tak lagi bermasalah dengan Januari, tapi parahnya dengan Ellina dan gengnya yang tak pernah bosan mengganggu Mei.

Ada saja hal buruk yang menimpanya. Mulai dari menyiramnya dengan air bekas pel. Sengaja menyandungnya sampai jatuh, sehingga membuatnya menjadi cibiran banyak orang di kantin. Dan terakhir menguncinya di gudang belakang. Teman-temannya hanya bisa membantu semampunya. Menegur pun percuma, apalagi melaporkan Ellina ke guru BP. Sebuah tindakan yang sia-sia. Mengingat Ellina adalah anak penyandang dana terbesar di sekolah itu memanglah sangat diistimewakan.

Satu-satunya orang yang dapat mengendalikan kelakukan buruk Ellina di sekolah hanyalah Januari. Sayangnya, cowok itu hanya menonton dengan tak acuh dan melengos begitu saja bila dirasa tak menarik lagi. Januari sudah membuang rasa simpatinya terhadap Mei.

Harusnya Mei bahagia sekarang. Teman tak kasatmatanya kembali mulai mengelilinginya. Hidupnya kembali seperti semula, namun jauh di dasar hatinya, keadaan Mei sekarang terasa tidak menyenangkan.

Makan tidak enak. Tidur tidak pulas. Belajar tidak konsen. Melakukan apapun juga terasa hambar dan membosankan. Hidupnya jadi serba salah.

Mungkin karena rasa bersalah menumpuk pada hatinya. Belum sempat ia mengucapkan terima kasih secara langsung pada Januari. Kesempatan itu memang ada, tetapi cara menyampaikannya sangatlah sulit. Ternyata butuh keberanian ekstra. Sialnya, Mei tidak memiliki keberanian sebesar itu. Pada akhirnya ia menelannya bulat-bulat dan hanya memandang Januari dari kejauhan dengan menanggung perasaan bersalah.

"Mei!" Seseorang mengguncang bahu Mei, sampai ia tersadar dari lamunan.

"Eh apa?" Mei memandang Niken dengan tatapan bertanya.

"Sedang melamunkan apa?"

"Aku tidak melamunkan apa-apa," kilahnya.

"Tidak melamun, tapi aku panggil berulang kali gak nyahut! Ada masalah?"

Mei pasang cengiran bersalah. "Bukan apa-apa."

Mei belum sanggup untuk berbagi cerita pada Niken, apalagi Rere dan Niko menyangkut Januari. Rasanya tidak enak membebani mereka dengan masalahnya sementara mereka belum lama menjalin pertemanan. Cukup keluarganya saja yang tahu.

"Ke kantin, yuk. Aku lapar."

Mei menggeleng cepat. "Aku di sini saja."

"Kenapa?" Niken cemberut. Dia merasa nelangsa karena perutnya sedari tadi tak hentinya berbunyi. Dia butuh teman untuk menemani.

"Pasti karena Ellina." Niken memasang muka iba. "Maaf ya, karena aku tidak bisa menolongmu."

Siapapun tidak akan berani menentang seorang Ellina, apalagi bagi Niken yang hanya murid biasa. Sekali jentik saja, Ellina mudah menyingkirkannya. Wajar bila murid yang berstatus ekonomi menengah ke bawah sangat segan dan takut terhadapnya.

"Aku ngerti kok."

"Lebih baik aku sendiri saja ke kantin. Kamu di sini saja. Sebisa mungkin kamu harus menghindarinya."

Mei mengangguk. Selepas Niken pergi, kebosanan merengkuhnya. Sepasang earphone tersumpal di telinga, mulai memutar lagu kesukaan.

Am i wrong?

Januari VS Mei 🔚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang