Part 37

32 4 1
                                    

Sambil nunggu pesawat yang delay..aku up ya..enjoy!!

"Ayam tetangga gue kemarin mati gara-gara kebanyakan bengong."

Aku menghela nafas tak berminat untuk mengalihkan pandanganku kesebelah. Aku tahu siapa yang sekarang duduk disebelahku.

"Lu masih selalu punya Gue kok untuk cerita. But before it, gue pikir Lu lebih butuh ini."

Satu cup ice cream coklat berada didepanku.

"Thanks Dit. Lu emang selalu baik."

"I know."

"Ckck..sejak kapan Lu jadi narsis gitu?" Kataku sambil mulai memasukkan es krim ke dalam mulut

"Itu kenyataan Ge..Lu aja yang nggak nyadar."

"Dit."

"Hmm?"

"Kalo Lu, lebih milih bahagia atau bahagiain orang yang Lu sayang?"

"Kalo gue bakal milih bahagia. Soalnya dengan gue bahagia, pasti orang yang sayang sama kita juga ikutan bahagia kan?"

"Gitu ya."

Suasana hening, aku tidak berniat untuk memulai percakapan dan Adit seperti biasa hanya akan jadi pendengar setia.

Suara bel menandakan jam pelajaran telah usai. Aku bergegas keluar kelas karena harus ke rumah sakit. Aga tidak ke sekolah hari ini, dia masih sibuk mengurus masalah diperusahaan sepertinya.

"Kaka Ipar, yuk gue anter pulang." Tomi menyejajari langkahku

"Gue nggak mau langsung pulang Tom, mau ke RS dulu jenguk Papi."

"OK kita ke RS dulu. Pokoknya hari ini Gue yang anterin Lu, dan Lu nggak boleh nolak kalo Lu kasian sama gue."

"Kok gitu?""

"Soalnya kalo nggak, Gue bisa digantung sama pacar Lu yang posessive itu."

Tidak membutuhkan waktu lama aku sampai di rumah sakit. Kondisi Papi sudah lebih baik dari kemarin, mami dengan setia dan telaten merawat Papi, menyuapi makannya dan Papi selalu mengucapkan terima kasih dengan sayang. Aku jadi iri. Apa nanti aku bisa punya pasangan yang saling mencintai seperti Papi dan Mami? Seperti Ayah dan Bunda?

Pintu ruang rawat terbuka memunculkan sosok Aga dengan setelan formalnya. Celana kain warna hitam dan kemeja biru yang sudah digulung lengannya sampai siku.

Dia menghampiri Papi dan Mami untuk mengucap salam. Aku masih memperhatikan dari posisi duduk di sofa.

Aga berjalan menghampiriku. Tidak ada kalimat yang meluncur dari mulutnya. Dia hanya mengusap rambutku sambil tersenyum, kemudian menyenderkan kepalanya di bahu kananku setelah duduk.

Aku melirik ke arahnya dan kulihat dia memejamkan mata. Ekspresi wajahnya terlihat lelah dan banyak pikiran. Apa masalahnya belum selesai? Apa seberat itu? Haruskah..

"Ga..kamu makan siang dulu sana, ajak Gea sekalian dia juga belum makan dari pulang sekolah tadi." Mami memecah keheningan yang ada

"Kamu belum makan?? Ini kan udah jam 3.00 sore. Ayo makan, nanti maagh kamu kambuh."

Belum sempat aku menolak, dia sudah setengah menyeretku untuk mengikutinya.

Aga mengajakku makan di cafe depan rumah sakit. Aku sudah tidak selera dengan makananku.

Aku menghela nafas berat setelah Aga menyelesaikan makanannya. Aku sudah memutuskan.

"Ga, aku mau ngomong."

"Kenapa?"

"Aku..aku mau putus." Kataku akhirnya

"What? Kamu jangan bercanda deh sayang. Bikin jantungan aja." Kata Aga masih sambil terkekeh

"Aku serius..aku mau kita putus." Kataku menekankan kalimat terakhirku agar dia percaya.

"Gea....but why?? Aku punya salah sama kamu? Aku nyakitin kamu? Ok aku minta maaf kalo memang begitu. Sumpah demi tuhan aku nggak pernah ada niatan sedikitpun untuk nyakitin kamu. Please..." katanya sambil menggenggam tangan ku di atas meja

Aku sekuat tenaga menahan air mata yang sudah mau turun. Aku harus kuat.

"Aku nggak bisa sama kamu."

"Kenapa? Aku nggak bakalan mau lepasin kamu. Aku udah janji di depan almarhum Ayah kamu untuk jagain kamu terus. Kita udah tunangan Gea. Kamu tega ngancurin gitu aja?"

"Aku..aku nggak bisa dengan posisimu. Masalah perusahaan yang lagi kamu hadapin ganggu banget buat aku. Dulu hidupku tenang tanpa adanya masalah ini itu. Jadi aku mau kita pisah."

"Geaa..."

Tuhan maafkan hamba, beri hamba kekuatan. Jangan sampai aku terlihat lemah saat ini.

"Aku pikir apa yang aku mau udah jelas." Dengan gemetar aku melepaskan cicin yang melingkar di jariku. "Aku kembaliin ini. Semoga kamu bisa dapet yang lebih baik dari aku."

Aku berdiri dan bermaksud beranjak dari sana, tapi Aga menahan tanganku.

"Paling nggak, ijinin aku anter kamu pulang."

Aku menggeleng
"Nggak usah, aku udah minta jemput Adit."

Genggaman tangannya lepas begitu saja. Rasanya seperti kehilangan sesuatu yang berharga. Tapi ini yang aku mau. Aku mengirimkan pesan kepada Angel untuk menagih janjinya untuk menyelesaikan masalah ini.

Aku setuju dengan Adit. Aku juga akan egois. Aku mau bahagia dan inilah caranya dengan meninggalkannya. Karena hanya dengan mencintainya saja aku sudah bahagia.

***

Catatan Hati GEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang