[15] Makmum Buat Suamiku

22.6K 1.7K 118
                                    

"Saya tak menyangka kamu anak Ibu Wimeka. Dunia ini kecil, ya."

Kedatangan Grace ke rumah sakit untuk ibunya. Ternyata Grace Hanna Atlantika adalah adik Gara. Grace adalah mahasiswa bimbinganku. Menurut cerita Allan, Gracelah yang membiayai rumah sakit ibu mereka.

"Saya juga heran melihat Ibu Siwi mengenali mama saya." Grace meletakkan ranselnya di bangku antara kami. Sepoi angin taman yang ditiupkan oleh dahan pohon akasia mengibarkan surai panjang gadis itu. Ia menyibak rambutnya ketika akan berbicara, "Saya minta maaf karena tidak sengaja mendengar cerita Ibu Siwi."

Kubiarkan tawa mengawali perkataanku, "Hidup saya menyedihkan sekali. Pernikahan kami baru berjalan beberapa bulan."

"Ibu masih punya pilihan. Jika bersama akan bahagia, bertahanlah. Kalau berpisah lebih baik, maka lepaskanlah. Saya kagum pada Ibu. Bu Siwi tidak terlihat menyedihkan sama sekali kok. Kalau saya tidak memergoki curhatan Ibu tadi, barangkali saya pikir hidup Ibu sempurna sekali."

"Oh, ya? Saya juga kagum kepadamu, dengan kerja keras dan pengorbanan kamu untuk keluarga. Maaf kalau selama ini saya menyusahkanmu."

"Terima kasih. Ibu pasti sudah dengar soal saya. Memang benar, saya bekerja part time untuk membiayai kehidupan kami, terutama biaya rumah sakit mama."

"Saya akan meng-acc proposal kamu. Sudah sampai metode penelitian, bukan?" Dia mengangguk. "Lakukanlah penelitian segera. Dua minggu lagi kamu seminar."

"Terima kasih, Bu. Oh iya, saya masih tidak enak hati karena tadi. Saya tidak bermaksud mendengarnya." Grace terlihat bersungguh-sungguh.

Kalau pun dia mengetahui kepelikan rumah tanggaku, memangnya dia akan melakukan apa?

"Tidak usah minta maaf."

Kuhirup udara yang dibawa angin berembus, lumayan segar. "Saya dengar kamu punya kakak, Grace, kenapa dia tidak ikut berkunjung sekarang?" pancingku.

Grace memilin-milin rambut dengan telunjuk kanan. "Saya tidak tahu dia sekarang berada di mana."

Kutolehkan kepala untuk melihat wajahnya, ada mendung yang bergelayut ingin jatuh.

"Kakak saya, dialah orang yang paling terpukul dengan kehancuran keluarga kami. Malam itu dia bertengkar dengan ayah kami. Kakak tidak terima dengan perbuatan ayah. Cekcok antara mereka membuat mama harus berada di sini. Kakak sangat menyayangi mama." Ketika air matanya turun, aku sentuh punggung tangannya untuk memberikan sedikit pegangan agar ia tidak terpuruk sendirian.

"Setelah bimbingan, saya akan ajak kamu ke suatu tempat."

Grace mengangguk. Aku akan bawa ia menemui kakaknya.

***

Aku menganga tidak percaya melihat siapa yang sedang berdiri di luar ruanganku, Gedung Jurusan Bahasa Indonesia. Dia melihati ujung sepatunya. Tangan terlipat elok di dada. Kemeja putih dengan lengan yang dilipat tanpa dasi. Ujung kemeja rapi tersembunyi di balik pinggang celana bahan. Melihat kehadirannya di sini, ada kerja tak konstan di balik tulang rusukku.

"Aku juga tidak akan menceraikanmu, Wi. Kalau kamu belum memintanya, aku tidak akan melakukannya. Kamu masih ingat perkataanku waktu itu? Pergilah ketika kamu lelah, sudahi apabila kamu ingin menyerah."

Kalimat itu kembali terngiang saat aku ingin memanggil namanya. Niat itu kuurungkan dan entah kenapa beratlah yang kurasakan di mataku, di bibirku, dan di kepalaku. Kami tidak baik-baik saja saat ini. Banyak sekali batas yang memisahkan kami. Kehadirannya yang tiba-tiba di tempat ini, tempatku bisa melupakannya sejenak, menggeliatkan segala perasaan tersembunyi; marah, kesal, sakit, senang, bahagia, cinta, barangkali.

Sepasang Luka (Dihapus Sebagian)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang