[28] Pergi Tanpa Pamit

26K 1.8K 179
                                    

Semoga Wattpad sudah sehat untuk UP kali ini....

🍂
🍂
🍂
🍂
🍂
🍂
🍂


Paginya aku terbangun dengan mual yang parah. Aku bangkit pelan-pelan dari tempat tidur. Tidak ingin menimbulkan suara sedikit pun. Sebisa mungkin kutahan gejolak yang berasal dari perut. Kubekap mulutku agar tidak menimbulkan suara. Berjalan pelan-pelan, aku membuka pintu dan berlari menuju kamar mandi paling ujung di lantai dua ini. Aku hanya memuntahkan cairan. Namun, perasaan mual itu mengaduk-aduk lagi hingga beberapa kali harus merunduk ke kloset. Kurasa suaranya sangat berisik.

Aku keluar dari kamar mandi dan mendapati mama berlipat tangan di dada. Tatapannya menyelidik. Aku menyeka mulutku dengan ujung lengan baju tidur. Jadi malu karena aku lupa memakai kerudung.

"Siwi buru-buru, jadi lupa," jelasku dengan suara seperti mencicit. Mama tidak mempermasalahkan hal itu.

"Mama tahu, ayo ke bawah."

Aku mengikut mama dengan kepala menunduk. Rasa mual itu masih ada. Kututup wajahku dengan rambut yang terurai. Aku bingung bagaimana mengatasinya. Aku menyesal tidak menanyakan masalah ini kepada Tanti.

"Makan roti biasanya bisa mengatasi mual." Mama memberikan roti tawar kepadaku. Segera kulahap. Hasilnya cukup berefek.

"Sudah sering mual-mual di pagi hari?" tanya mama. Kami duduk bersampingan di bangku meja makan.

"Baru sekali. Biasanya karena makanan tapi tidak pagi-pagi juga seperti ini." Aku tidak berniat untuk berahasia dengan mama. Kata Aqila, mama sangat menginginkan cucu. Kurasa mama berhak tahu berita ini.

"Jadi pikiran Mama benar? Mama akan dapat cucu?" Mata mama melunak. Wajahnya kendur dan bibirnya mulai merekah.

Aku mengangguk. Mama memelukku. "Akhirnya, yang Mama tunggu-tunggu. Ya Tuhan, Siwi hamil, Sayang. Mama akan dapat cucu." Mama menepuk punggungku pelan-pelan.

"Tujuh minggu, Ma. Siwi baru tahu."

Mama mengangguk beberapa kali. "Kamu harus jaga dia dengan baik. Kamu bisa tanya Mama dan mamimu kalau ada masalah sedikit saja."

"Iya. Siwi memiliki dua ibu yang baik," ungkapku penuh syukur.

Banyak hal kutanyakan kepada mama. Mama menjawabnya dengan semangat seorang calon nenek yang telah lama mendambakan kehadiran cucu. Semuanya kusimpan dalam memori. Setelah itu mama pamit untuk membuat sarapan. Tatapanku kini pada jemari yang dihias cincin pernikahan. Kusentuh benda bulat itu. Agak susah awalnya untuk melepasnya, hingga aku harus memutarnya pelan-pelan. Lepas.

Ada yang menyibak rambutku ke samping. Lalu juluran tangannya yang panjang mengambil cincin yang telah kuletakkan di atas meja makan.

Lian menyeret bangku di sebelahku. Dia duduk lalu mengamati cincin di jari manisnya sendiri. Dia juga membukanya lalu memberikan kepadaku. Dia nyengir. Menaikkan sebelah alisnya ketika menatapku sebelum berbicara, "Ayo kita tukaran cincin."

"Siapa yang duluan memakaikan?" Dia berpikir. "Mana jarimu?" Tidak menungguku bergerak, mengambil sendiri tangan kananku. "Aku yang memasangkan lebih dulu," ujarnya.

Perlahan dia pasangakan cincinku di jari manis. Peristiwa ini membuatku menahan napas. Setelah berhasil, dia amati benda itu.

"Sekarang giliranmu," ucapnya menyodorkan jemarinya.

Sepasang Luka (Dihapus Sebagian)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang