Repost 31 Maret 2020
Rasa mual semakin kerap menyerang. Pagi menjadi agenda rutin menunduk ke kloset. Kupikir pasta gigi bisa menyegarkan setelah adegan muntah-muntah ternyata salah. Aromanya menciptakan mual semakin parah. Akibatnya, sejak hampir tiga minggu ini aku tidak menyentuh pasta gigi.
Mual dipicu oleh stres ibu hamil, begitu yang kutahu. Jelas itu benar. Bagaimana aku tidak punya banyak pikiran kalau rumah tanggaku berada di ujung tanduk? Suamiku tidak mencintaiku. Dia menganggapku teman tidur. Lelaki itu beberapa minggu tidak pulang. Bagian ini karena aku yang memintanya pergi. Dia menuruti kemauanku. Seharusnya dia mengerti kalau aku sedang diliputi emosi karena nyatanya sangat membutuhkan dirinya di sampingku.
"Wiii! Tidak usah ikut mengantar Mami. Lihat kondisimu lemah, Mami takut terjadi apa-apa denganmu dan kandunganmu." Mami menerobos masuk ke kamar mandi lalu mengelus punggungku. Aku menegakkan kepala, menyeka mulut dengan tisu, dan membalikkan badan kepada mami.
"Ini sudah hilang mualnya. Ayolah, turun. Kita harus cepat."
"Tunggu." Mami menahan tanganku.
"Kenapa, Mi?"
"Mami khawatir meninggalkanmu sendirian di rumah."
"Masalah itu?" tanyaku tak percaya.
"Iya. Apalagi kamu sedang hamil." Mami sudah jujur kepadaku bahwa dia sudah tahu tentang kehamilanku.
Hari itu adalah hari terkahir aku bertemu Lian. Aku pulang dari apartemen dengan isakan yang tidak bisa kusembunyikan. Kuceritakan kepada mami tentang kekhawatiran terhadap suami dan istri mudanya yang akan mengambil anakku. Setelah itu mendepakku dari kehidupan mereka, minus kejadian sambung raga.
"Mami tidak bisa memaksa kamu untuk tetap bertahan jika kamu sendiri sudah lelah dengan semua masalah ini. Mami hanya ingin kamu bahagia. Mami kira kamu akan bahagia dengan dia. Ternyata kamu menderita. Mami tidak akan memaksa kamu untuk menerimanya. Mami akan dukung apa pun keputusan Siwi."
"Lalu Mami memutuskan untuk tidak jadi ke Bandung?" tebakku.
"Bukan. Mami harus pergi. Ini paman Mami, satu-satunya yang bertali darah dengan kita. Juga pesta anak terakhirnya. Sehabis ini tidak ada lagi acara besar. Mami tidak mungkin tidak datang ke sana karena ini kesempatan terakhir Mami," papar mami dengan wajah menunduk lesu. Kutahu mami merindukan keluarganya juga.
"Mami pergi saja kalau begitu. Jangan khawatir kepadaku. Siwi pasti bisa hidup tanpa Mami. Mau berapa lama Mami pergi, Siwi akan baik-baik saja kok. Insya Allah." Aku tidak bisa menjanjikannya.
"Kamu ingin Mami tenang?"
"Solusinya? Apakah Mami akan membawa Siwi supaya tenang tanpa meninggalkanku sendirian? Kenapa rasanya aku jadi anak kecil sih?"
Mami melipat tangan di dada. "Kamu punya tanggung jawab pekerjaan. Kamu juga belum dianjurkan naik pesawat."
"Siapa yang bilang? Tidak ada yang melarang Siwi terbang. Kandungan Siwi sudah sepuluh, Mi, sepuluh minggu. Kata Tanti bayi Siwi kuat. Mami terlalu khawatir pada hal-hal kecil."
"Iya. Begitulah jadi orang tua, Siwi. Akan ada banyak sekali hal yang membuat pikiran Mami tidak tenang. Melihatmu muntah-muntah seperti tadi, rasanya Mami rela kalau Mami saja yang mengalaminya lagi. Kalau bukan karena acara penting, Mami tidak akan biarkan kamu sendirian di rumah. Jadi—" Mami memotong kalimatnya. Aku menunggu. "—Mami akan menitipkan kamu kepada Nora."
"Siwi malu aah. Siwi bukan anak kecil lagi. Masa pakai dititipkan segala sih?"
Mami melambaikan tangannya, pertanda penolakanku tidak diterima. "Ini sudah Mami putuskan. Selama Mami di Bandung, kamu ada dalam pengawasan Nora. Dia yang bisa Mami andalkan untuk memperhatikanmu dan calon cucu kami."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Luka (Dihapus Sebagian)
Romance𝙰𝚍𝚊𝚔𝚊𝚑 𝚜𝚎𝚋𝚞𝚊𝚑 𝚔𝚎𝚋𝚊𝚑𝚊𝚐𝚒𝚊𝚊𝚗 𝚋𝚒𝚕𝚊 𝚕𝚎𝚕𝚊𝚔𝚒 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚍𝚒 𝚜𝚞𝚊𝚖𝚒𝚖𝚞 𝚊𝚍𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚔𝚎𝚔𝚊𝚜𝚒𝚑 𝚜𝚊𝚑𝚊𝚋𝚊𝚝𝚖𝚞? 𝚂𝚒𝚠𝚒 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚊𝚖𝚋𝚒𝚕 𝚔𝚎𝚙𝚞𝚝𝚞𝚜𝚊𝚗 𝚋𝚘𝚍𝚘𝚑 𝚜𝚊𝚊𝚝 𝚜𝚊𝚗𝚐 𝚜𝚊𝚑𝚊𝚋𝚊𝚝...