[33] Air Mata Kehilangan

25.3K 2.1K 880
                                    

“Cantik nih anaknya Mami pakai hijab,” ujar mami saat melihatku sedang merapikan hijab persegi empat waktu itu. Aku melihat senyuman mami yang berbinar lewat pantulan cermin.

“Cocok tidak dengan baju Siwi?”

“Mami rasa cocok. Kamu itu anaknya Mami Pratiwi, pakai warna apa saja pasti kelihatan cantik. Ah, rugi papimu tidak melihat anaknya tampil secantik ini.”

Aku sentuh tangan mami yang ia letakkan di atas bahuku. “Papi bisa melihat kok, Mi. Papi selalu tahu apa yang kita lakukan di sini,” ucapku sembari tersenyum.

Kuncup senyuman mulai terkembang di bibir mami. Ia mencubit pipiku waktu itu dengan gemas. “Papimu adalah orang paling jahat di dunia ini. Tega-teganya papi meninggalkan Mami di saat Mami masih cinta dia, saat Mami masih terlalu membutuhkan dia, di saat mami belum bosan dengannya.” Ada genangan mulai terbentuk di sudut-sudut mata mami. Kepergian papi memang selalu menjadi bahasan yang menggelimangi kami dengan kesedihan.

Aku memutar duduk berhadapan dengan mami yang berdiri. “Kapan sih Mami bisa tidak cinta lagi pada papi, bisa tidak butuh papi lagi, dan—” menarik napas lalu mengembuskannya lekas, “bisa bosan kepada papi?” Kucubit pinggang mami yang manjanya minta ampun kepada almarhum papiku. “Ikhlaskan kepergian papi. Papi pernah bilang pada Siwi, Mami boleh kok mencari papi baru yang lebih ganteng dari papi.”

“Tuh ‘kan, jahat sekali si papi! Dikiranya mudah apa mencari pengganti papi?! Yang lebih ganteng dari papi sih banyak, tapi  yang cinta kepada Mami dan yang mencintai Mami cuman papi.”

Aku pura-pura merajuk waktu itu. Menyingkir dari mami sambil melipat tanganku. “Terus Siwi tidak dianggap, ya? Hanya papi yang cinta kepada Mami, hanya papi yang Mami cintai. Baiklah, biar Siwi susul papi saja kalau begitu. Siwi akan cerita pada papi kalau Siwi ini tidak dianggap oleh mami sendiri.”

“Beda... itu beda. Papi bisa memanjakan Mami, Siwi memangnya bisa?”

Hiiiiks...

Apakah karena itu mami pergi meninggalkan Siwi? Apakah karena Siwi tidak bisa seperti papi? Apakah karena mami terlalu ingin dimanja papi? Sini, kemarilah, Mi. Siwi juga bisa. Mami tidak ingat, siapa yang mengusap kepala mami saat mami demam? Mami lupa siapa yang memeluk mami saat mami bermimpi didatangi papi? Siapa yang membantu menaikkan resleting baju mami? Mami tidak sayang Siwi?

Siwi juga sangat mencintai mami. Siwi sangat membutuhkan mami. Siwi belum bosan kepada mami.

Begini ya mami, mami sebal kepada papi lalu mami balaskan kepada Siwi. Siapa nanti yang akan menemani Siwi? Siapa yang akan melawan kesedihan bersama Siwi? Mami curang. Mami curang! Mami yang lebih dulu meninggalkan Siwi! Mami orang yang paling jahat di dunia ini.
“Siwi, ayo, Nak. Kita pulang. Ayo!” Papa menarikku berdiri dari kubur mami. Belum, Pa. Aku belum ingin pulang. Ada banyak yang ingin kusampaikan kepada mami.

Apakah Mami tidak khawatir melihatku sendirian? Mami tidak ingat, aku sekarang sedang mengandung. Aku tidak mampu melewatinya sendirian tanpa mami. Mami kenapa pergi? Mami tidak ingin menemaniku melewati masa-masa kehamilan ini? Mami tidak ingin melihat cucu mami lahir? Mami lebih pilih papi?

“Siwi, ayo pulang, Sayang. Kamu belum makan sejak tadi pagi. Ingatlah, kamu tidak sendirian lagi. Kalau kamu tidak makan, ada seseorang yang akan kelaparan juga. Jangan karena kesedihanmu, kamu membahayakan anakmu. Ayo, kita pulang.”

Sepasang Luka (Dihapus Sebagian)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang