Untuk berjaga-jaga, aku mendatangi rumah sakit kembali. Aku pernah mengatakan Lian menjauh tetapi terasa dekat? Maksudku, dia tidak menyentuhku setelah aku pingsan waktu itu. Tetapi perhatiannya begitu tercurahkan. Bahkan terkesan berlebihan layaknya aku sebuah kaca yang takut pecah apabila tidak hati-hati menjaganya. Meskipun begitu, aku tidak ingin kecolongan. Cukup sekali ralat dua kali aku tidak menggunakan kontrasepsi ketika bersamanya.
"Lezya Siwi Aurora." Tanti bergumam saat aku menyebutkan namaku. "Siwi? Lho kamu toh ini, Wi?" Dia berdiri lalu memelukku. "Siwi, kamu bikin pangling. Ya ampun cantik banget sih sekarang. No no, kamu memang cantik tapi sekarang makin cantik hijaban begini. Kamu apa kabar?"
Aku tersenyum, ikut senang melihatnya yang gempita seperti biasanya. "Alhamdulillah. Kamu juga makin cantik."
"Aduh aku kangen sama kamu, kalem yang manis dan takut banget sama Lian! Hey, gimana kamu dengan pacarmu itu? Aku dengar, Lian sekarang pilot yah?" Itulah yang diketahui teman-temanku bahwa aku pacar Lian. Oleh sebab itu, sewaktu pernikahan kami ada yang tidak heran kenapa aku berdiri di sebelahnya.
Untuk rumah tanggaku yang tidak normal, aku tidak ingin menggemborkan siapa suamiku.
"Ada urusan apa kamu datang mencariku? Atau ada urusan dengan bidan?" tanya Tanti pada akhirnya. "Konsultasi soal menstruasi tak lancar? Atau jangan bilang kamu sedang hamil?"
Uhuuks. Hamil hamil, aku tidak mungkin hamil!
"Aku ingin bantuan kamu, eehm untuk kontrasepsi yang paling aman," ucapku terbata. Suaraku bahkan terdengar berbisik.
Tanti tersenyum maklum. Dia maklum dengan maksud serta tujuanku atau maklum dengan tingkahku yang memalukan ini? Entahlah, aku tidak mampu menyelami isi kepala Tanti sejak dahulu.
"Mau pakai KB apa, Wi? Ini baru pertama kali ingin memakai kontrasepsi?" Dia bertanya dengan senyum menenteramkan, seperti seorang ibu membesarkan hati anaknya ketika jatuh saat belajar jalan.
"Sejak menikah, aku sudah KB, Tan."
Setelah bertanya aku menggunakan kontrasepsi apa, Tanti menanyakan soal siklus bulananku.
"Mau kita tespek dulu hari ini?"
Mataku kontan mengedip heran. "Memangnya harus? Kurasa siklus bulananku lancar," protesku.
Dia menarik kedua sudut bibirnya. "Hanya untuk memastikan hamil atau tidak, agar bidan tidak salah mengambil tindakan, Ibu Siwi," tekannya pada kata tindakan.
"Ouh, baiklah. Eehm apa yang harus kulakukan?" Kurasa sewaktu bertanya, wajahku terlihat antipati. Tentu saja, aku sebenarnya tidak yakin melakukan tes ini sebab tidak merasakan keanehan. Untuk diketahui, aku selalu rutin mendapatkan tamu bulanan. Selain itu, aku juga selalu berjaga sejak awal.
Dia menjawab dengan sikap tenang, "Siwi ke kamar mandi, bawa kom ini," ucapnya seraya memberikan mangkuk stainless, "untuk menampung air seni. Ingat, Siwi, jangan tercampur air karena harus benar-benar urin murni," peringatnya.
Aku menelan ludah, antara takut dan ingin membuktikan hasilnya negatif. Aku pun menyelesaikannya dengan cepat karena penasaran.
Tanti memegang testpack. "Kita tes sama-sama, ya."
Sementara itu, aku menantikan dengan berdebar.
"Ternyata Siwi positif, ini tanda garis duanya," ungkapnya dengan senyum merekah sedangkan bagiku ini berita paling rumit. "Selamat, ya."
"Kok bisa?" Pertanyaan itu meluncur dari bibirku sehingga Tanti mengerutkan kening. "Kenapa bisa hamil? Bukankah aku sudah bilang, jadwal menstrusiku lancar?!"
"Apa benar tanggal ini adalah jadwal kamu memakai kontrasepsi kembali? Atau begini, Wi, mana kartu KB-mu?"
Aku menyerahkan kartu yang dia minta.
"Oh, memang benar tanggal dua puluh tujuh. Tapi bukan bulan ini, Wi," ungkapnya. Tentu saja, bulan lalu aku memang tidak melanjutkannya. "Benarkah dua atau tiga minggu yang lalu kamu menstruasi? Lalu kenapa baru datang ke bidan sekarang?"
Kurasa pertanyaan dia yang ini tidak perlu kujawab. Aku tidak ingin jujur bahwa sebenarnya aku baru saja rujuk dengan suamiku.
"Oke, baiklah. Seperti ini saja, sebelumnya, bulan-bulan kemarin, pernah tidak kamu terlambat minum pil beberapa hari? Kehamilan kamu ini sudah terlihat besar, Siwi," ungkapnya dengan nada khawatir. Mungkin dia mengerti posisiku yang belum siap untuk mengandung. "Bisa dipastikan yang kamu maksud dengan menstruasi tiga minggu yang lalu, bukan haid. Itu adalah pendarahan akibat penempelan blatosis. Bahkan peristiwa itu merupakan tanda kehamilan yang telah ada di dalam rahim."
Napasku tertahan. Aku tentu ingat kapan aku melupakan kontrasepsi. "Iya, pernah, Tan. Sekitar seminggu sebab waktu itu pekerjaan di kantor hectic banget. Lagi pula, suami pun sedang tidak di rumah, tapi dia pulang, dan yah seperti itu," jelasku sambil menekan-nekan jemari di atas pangkuan. "Kamu bilang sudah besar, eehm kira-kira sudah berapa minggu?"
"Terlihat seperti usia kehamilan tujuh minggu," jawabnya setelah memeriksa.
"Kenapa aku tidak merasakan tanda-tandanya? Aku tidak gendut! Yah, hanya lemak, lagi pula aku jarang makan hingga lemak itu mulai hilang." Jawabanku terdengar seperti protes seorang anak kecil.
"Ada yang kehamilan sudah besar namun perutnya masih terlihat kecil. Biasanya hal itu dipengaruhi oleh tinggi badan."
"Tapi aku tidak mual di pagi hari. Hanya sesekali waktu mencium bau makanan tertentu." Aku menutup mulut ketika mengingat hal itu.
"Hormon ibu hamil berbeda-beda, Siwi. Ada yang mual di usia awal-awal kehamilan, ada yang mulai merasakan mual saat mulai memasuki tiga atau lima bulan kehamilan."
Aku tertunduk. Pandanganku berganti ke arah perutku. Jadi, aku telah berbadan dua, tidak sendiri lagi? Perasaan takut tadi hilang. Kurasa sebuah senyuman kecil tercetak di bibirku hingga Tanti mengucapkan selamat sekali lagi.
"Sekarang kita kasih vitamin untuk ibu dan janin." Setelah itu Tanti berkata lagi, "Langsung beritahu keluarga ya, Wi, mereka pasti senang mendengar kabar bahagia ini."
Ucapan Tanti yang terakhir menghapus senyumanku. Aku mulai merasakan was-was.
"Kalau nanti ada keluhan di masa kehamilan seperti keluar cairan dari kema*uan, alangkah baiknya konsultasikan ke dokter untuk usg." Ucapannya tertelan oleh gulungan perasaan khawatir.
Siwi, ayo ini penting. Dengarkan penjelasan Tanti. Kamu tidak ingin kandunganmu kenapa-kenapa, bukan? Dengan bisikan kalimat itu, aku kembali fokus mendengarkan penjelasan Bidan Tanti.
"Jangan kerja yang berat-berat. Makan yang cukup dan atur juga pola istirahat dengan baik. Jangan malas untuk bergerak ya, Siwi, agar janin aktif dalam tumbuh kembangnya."
Masya Allah, janin. Ya Allah. Aku memilikinya. Aku mengandung. Entah kenapa mendengar kata janin, seluruh perasaan cemas, khawatir, dan takut yang kurasakan hilang. Bahkan keinginanku untuk tidak hamil lenyap begitu saja.
***
TBC
Repost 27 Maret 202
28 FEBRUARI 2018
Aloha.... lama y tidak update. Tahu kenapa aktivitas yang nggak padat terasa padat. Jadi kalau udah jam sembilan malam, mata nggak bisa dibuka.
Hihihi maaf bagian ini sedikit dan hanya membahas konsultasi Siwi. Biar kita tahu gimana Siwi yang bandel dibilangin. Kalau dibikin narasi nanti bosan, soalnya kalau Siwi udah cerita dia bisa menghabiskan satu halaman folio untuk narasi saja.Kira-kira Lian itu cinta nggak sih kepada Siwi?
![](https://img.wattpad.com/cover/117744070-288-k143462.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Luka (Dihapus Sebagian)
Romance𝙰𝚍𝚊𝚔𝚊𝚑 𝚜𝚎𝚋𝚞𝚊𝚑 𝚔𝚎𝚋𝚊𝚑𝚊𝚐𝚒𝚊𝚊𝚗 𝚋𝚒𝚕𝚊 𝚕𝚎𝚕𝚊𝚔𝚒 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚍𝚒 𝚜𝚞𝚊𝚖𝚒𝚖𝚞 𝚊𝚍𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚔𝚎𝚔𝚊𝚜𝚒𝚑 𝚜𝚊𝚑𝚊𝚋𝚊𝚝𝚖𝚞? 𝚂𝚒𝚠𝚒 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚊𝚖𝚋𝚒𝚕 𝚔𝚎𝚙𝚞𝚝𝚞𝚜𝚊𝚗 𝚋𝚘𝚍𝚘𝚑 𝚜𝚊𝚊𝚝 𝚜𝚊𝚗𝚐 𝚜𝚊𝚑𝚊𝚋𝚊𝚝...