"Siwi."
Seorang wanita dengan rambut panjang yang terurai berdiri di hadapanku di depan butik langganan mami. Dialah calon istri suamiku, kekasih suamiku. Wanita yang tersimpan rapi dalam hati dan kepala Lian.
"Aku ingin bicara denganmu," sambungnya setelah aku tersenyum menanggapi panggilannya. Seperti biasa dia langsung kepada hal yang diinginkan dan pergi ketika urusannya telah selesai.
Kami memilih kafe dekat butik yang cukup ramai sebagai tempat 'mengobrol'.
"Lian belum menceraikanmu?"
"Menurutmu?" Aku mulai jadi orang yang berprasangka. Harusnya kujawab dengan jujur, kenapa aku harus melemparkan pertanyaan?
"Aku minta Lian dan kamu jangan bercerai. Kamu harus tetap menjadi istri Lian sampai waktu yang menyelesaikan semuanya."
Apa yang dia katakan barusan? Geram, tapi aku tidak bisa membalas semudah dia mengatakan kalimat itu untukku.
"Ini kesempatan yang kuberikan agar kamu bisa menjadi satu-satunya istri Lian. Aku tidak ingin membagi suami, ralat, aku ingin berpisah. Kalian bisa bahagia tanpa bayang-bayang istri pertama." Aqila tidak bereaksi seolah perkataanku tidak penting untuk ia dengar. "Aku tidak akan menuruti keinginanmu."
Aqila menaikkan kaki kanan di atas paha kiri. Kulit mulus kakinya kontras dengan gaun merah darah yang dia kenakan.
"Asal kamu tahu, aku juga tidak suka berbagi. Keputusan ini sudah kupertimbangkan. Kamu harus menjadi istri Lian sampai aku bilang selesai."
Amarahku menyala-nyala sampai ke akar rambut yang tersimpan dalam hijab. Panasnya sampai ke telinga.
"Aku tidak bodoh, dan aku tidak akan menuruti keinginanmu untuk kedua kalinya. Kalau kamu ingin menikah dengan Lian, menikahlah. Aku akan sudahi semua ikatan dengannya. Tapi kalau kamu main-main dengannya, aku tidak akan biarkan kamu. Kamu tidak boleh menyakitinya lagi." Aqila tak menyela sedikit pun. Aku berhenti untuk mengambil napas.
"Dia hanya mau kamu, tapi kamu menghadirkan wanita lain, dan orang itu aku!" Emosiku menggelegak. Aku tidak percaya telah mengucapkan kalimat sepanjang itu. Untung kafe ini sedang ramai, jadi kurasa tidak akan ada yang memperhatikan percakapan ini.
"Kamu tertangkap!" Aqila tersenyum dengan sebelah sudut bibirnya.
"Apa maksudmu?" tanyaku setelah menyentuh dada. Jangan marah Siwi!
"Kamu mencintai Lian."
Air liurku terasa kering. Kuangkat gelas ke depan bibir lalu menyesap milkshake yang sejak tadi menjadi penonton debatku dan Aqila.
"Apa yang kamu katakan? Aku tidak—aku hanya ingin bercerai."
"Kalau kamu tidak mencintainya, apa salahnya tetap menjadi istrinya? Tidak masalah 'kan, kecuali kamu mencintai Lian dan kamu merasa sakit hati saat dia membagi malam dengan wanita lain."
"Tapi Lian yang tidak akan senang. Dia tidak mungkin tega menjadikanmu istri kedua." Alasan yang tepat sekali. Jangan sampai perasaanku yang masih 'muda' diketahui olehnya. Aqila tidak boleh membenarkan dugaannya yang sudah benar itu.
Aku memang mencintai Lian. Aku mencintai suamiku diam-diam.
"Kalau itu, Lian pasti mengerti. Lian tidak akan menolak permintaanku. Aku yang akan bilang kepadanya bahwa kamu masih diperlukan di sini."
Dia begitu percaya Lian akan mengikuti keinginan gila part duanya.
"Tenanglah, Wi. Doakan saja semuanya lancar, Lian akan bahagia denganku dan kamu juga akan bahagia melihat Lian bahagia karena kamu mencintainya."
"Aku tidak mencintai Lian!" Lantas kenapa aku harus mengucapkannya sambil berdiri? Aku segera duduk kembali kemudian menatap ke arah selain mata Aqila.
"Dan kamu baru saja mengakui hal itu, Lezya Siwi Aurora."
Pasokan udara ke paru-paruku menipis. Aku berdiri untuk meninggalkan Aqila. Sebelum itu, kuhabiskan minumanku yang tinggal separuh lalu mengambil tas berjalan dengan cepat meninggalkan Aqila.
Siwi, anggap saja kamu sudah bercerai. Lian tidak akan menganggapmu istrinya. Lian tidak akan datang dan membagi malam seperti yang Aqila katakan tadi. Anggap saja kamu sudah tidak punya hubungan apa-apa dengan Lian. Apa salahnya untuk tidak bercerai?
Lalu bagaimana dengan perasaanku? Cerai atau pun tidak, sakitnya mencintai Lian sama besarnya.
***
"Sudah mati akal suamimu, hah?"
Kabut kemarahan menari bagai kobaran api di mata mami ketika aku beritakan rencana pernikahan Lian dan Aqila kepadanya. Suaranya menggelegar di seluruh rumah besar ini. Untungnya, aku sudah biasa mendengar suara mami saat marah. Tapi kali ini berbeda. Kemarahan mami merupakan bentuk sayangnya kepadaku. Aku tidak menyukai kenyataan itu.
"Mano dio (Mana dia) anak nini pelet itu? Kujambak nian rambutnyo. Berani nian ngerusak rumah tanggo anak-ankku (Beraninya dia merusak rumah tangga anakku." Langkah mami kuhentikan segera. Mami pasti akan ke rumah Aqila, akan memerangi maminya Aqila, dan akan memaki-maki di sana.
"Tidak, jangan ke sana Mi." Masih menarik tangan mami, kuhela tubuh mami ke bangku sofa. Lalu kupeluk tubuhnya yang terserang tegangan tinggi. Napas mami memburu.
"Mami memilihkan jodoh yang salah untukmu. Maafkan Mami, Siwi."
Menggeleng, kuhapus air mata mami. "Bukan, ini sudah ketetapan-Nya. Mami tidak salah."
"Kenapa hidupmu seperti ini, Wi? Mami tidak rela kamu dijadikan istri pertama. Lebih baik kamu berpisah. Kamu harus bercerai dengan anak nakal itu! Ternyata semakin tua dia semakin berandal, tega-teganya dia menyakiti anakku. Aku menyesal dulu pernah memuji dia sebagai pria baik. Menyesal."
"Mamii... Lian bukan berandal," belaku dan merasa lucu sebab mami menjuluki lelaki dua puluh lima tahun dengan sebutan anak nakal. Mami berhasil membuatku tersenyum lagi.
"Oh iya, kalau ingin bercerai harus pastikan kamu bersih."
"Bersih apa maksud Mami? Mungkin perceraian akan terjadi, tapi bukan sekarang."
Mami membuang napas dengan kasar. "Pastikan kamu tidak hamil karena Mami tidak ingin punya cucu dari lelaki berandal seperti dia," terang mami.
Aku tidak mungkin hamil, Mi.
"Mami tenang saja. Doakan Siwi kuat menjalani semua ini."
"Sekarang kamu panggil suamimu yang sudah gila itu! Dia harus berhadapan dengan Mami."
***
Bersambung ...
22 Maret 2020
ini dikiit banget tapi jangan khawatir. besok update lagi kokkk
![](https://img.wattpad.com/cover/117744070-288-k143462.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Luka (Dihapus Sebagian)
Storie d'amore𝙰𝚍𝚊𝚔𝚊𝚑 𝚜𝚎𝚋𝚞𝚊𝚑 𝚔𝚎𝚋𝚊𝚑𝚊𝚐𝚒𝚊𝚊𝚗 𝚋𝚒𝚕𝚊 𝚕𝚎𝚕𝚊𝚔𝚒 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚍𝚒 𝚜𝚞𝚊𝚖𝚒𝚖𝚞 𝚊𝚍𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚔𝚎𝚔𝚊𝚜𝚒𝚑 𝚜𝚊𝚑𝚊𝚋𝚊𝚝𝚖𝚞? 𝚂𝚒𝚠𝚒 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚊𝚖𝚋𝚒𝚕 𝚔𝚎𝚙𝚞𝚝𝚞𝚜𝚊𝚗 𝚋𝚘𝚍𝚘𝚑 𝚜𝚊𝚊𝚝 𝚜𝚊𝚗𝚐 𝚜𝚊𝚑𝚊𝚋𝚊𝚝...