7 Menjadi Istri Sebenarnya
Ada satu hal yang rutin kulakukan semenjak menikah, yaitu menunggu suami dengan sepotong sajadah tiap Subuh. Sayangnya, dia selalu menggeleng dan bilang sebentar lagi hingga Subuh terlepas. Aku menghela napas pasrah. Mengubah seseorang untuk agamais cukup susah. Tetapi Lian akan begitu perhatian sehari-harinya. Aku harus menahan debaran ketika dia memperlakukanku dengan baik. Dia berubah dari si irit bicara menjadi si cerewet mengenai hal-hal kecil. Seperti, dia mengeluarkan sepeda motorku lalu menghidupkan mesinnya untuk dipanaskan sebelum pergi. Hal kecil tapi manis menurutku. Selama ini aku melakukan segalanya sendirian. Perasaan ini pun terpercik api.
Subuh tadi ketika aku terbangun untuk melakukan pertemuan dengan Tuhanku, Lian tiba-tiba menarik tanganku. Dengan mata terpejam tidak mampu menolak sebutir air mata yang menerobos keluar dari sudut matanya. Aku yang terlalu ingin tahu apa yang sedang terjadi dengannya, memutuskan duduk dan membiarkan tanganku dalam genggamannya. Terlalu sombong berharap bahwa dengan adanya aku mampu membuat mimpinya terkubur dalam.
"Jangan pergi, Qila!"
Igauannya terdengar sangat jelas. Alam bawah sadarnya bahkan tidak dapat berbohong jika selama ini dia selalu memikirkan kekasihnya. Terkutuklah aku yang sudah mengambil tempat yang paling tinggi untuk Aqila.
***
"Aku akan mengantarmu," ujar Lian di sela-sela aku menghias diriku. Hari ini aku kembali ke kampus.
"Hhhm... Terserah." Aku mengecek wajahku sekali lagi.
Berada di rumah dan melihat Lian, sama sekali tidak nyaman buatku. Lian terlihat baik-baik saja di depan. Dia memperlakukanku lebih hangat dibandingkan dulu sebelum menikah. Padahal, ditinggalkan yang terkasih ketika akad nikah sudah di depan mata bukanlah perkara ringan untuk bisa melupakan. Dia masih menyimpan perempuan itu di dalam kepala dan hatinya.
"Aku sudah siap." Aku berdiri dari bangku dan mencangklong tasku.
"Kamu melupakan sesuatu."
"Apa?"
Aku kembali melakukan cek dan ricek penampilan. Kuhadapkan lagi wajah ke depan cermin. Satu kernyitan timbul dari keningku saat melihat tidak ada yang kulupakan dari diriku.
"Mana?"
"Kunci?" Lian mengambil kunci sepeda motorku dari atas meja.
"Naik motor?"
Lian tersenyum simpul. Dia lalu memimpin berjalan di depanku. Aku kira kami akan naik mobil.
"Aku ingin merasakan membonceng istriku dengan sepeda motor."
Suara Lian yang terbawa angin masih bisa kutangkap sebelum menyebar bersama partikel di udara. Kami saat ini dalam perjalanan menuju kampusku. Lian serius ketika mengatakan bahwa dia akan mengantarkanku dengan sepeda motor.
"Kamu belum pernah melakukannya?" ucapku di telinganya.
"Tentu saja belum. Kita baru melakukannya sekarang," jawab Lian dengan suara keras agar bisa terdengar di antara deru angin dan kendaraan lain.
Gelombang senang membelai lembut kedua belah pipiku hingga membulat ketika bibirku tertarik saat dia mengakuiku sebagai istri. Dengan tidak tahu malunya sebelah tanganku kini telah melingkar di pinggangnya. Kurasakan sedikit perubahan terjadi padanya tapi hanya sesaat sebelum dia meletakkan tangan kirinya di atas punggung tanganku, mengusapnya, dan kembali kepada setang sepeda motor.
"Selesai jam berapa?" tanya Lian saat aku melepaskan helm setibanya kami di parkiran kampusku.
"Jam empat. Kenapa memangnya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Luka (Dihapus Sebagian)
Romance𝙰𝚍𝚊𝚔𝚊𝚑 𝚜𝚎𝚋𝚞𝚊𝚑 𝚔𝚎𝚋𝚊𝚑𝚊𝚐𝚒𝚊𝚊𝚗 𝚋𝚒𝚕𝚊 𝚕𝚎𝚕𝚊𝚔𝚒 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚍𝚒 𝚜𝚞𝚊𝚖𝚒𝚖𝚞 𝚊𝚍𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚔𝚎𝚔𝚊𝚜𝚒𝚑 𝚜𝚊𝚑𝚊𝚋𝚊𝚝𝚖𝚞? 𝚂𝚒𝚠𝚒 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚊𝚖𝚋𝚒𝚕 𝚔𝚎𝚙𝚞𝚝𝚞𝚜𝚊𝚗 𝚋𝚘𝚍𝚘𝚑 𝚜𝚊𝚊𝚝 𝚜𝚊𝚗𝚐 𝚜𝚊𝚑𝚊𝚋𝚊𝚝...