Ketika Hujan Turun - Part 01
"Hujan tidak capek ya, jatuh berkali-kali." Ucapan Niken terdengar lirih, bersaing dengan desau derasnya air hujan.
"Itulah salah satu sisi romantisnya hujan, Ken. Ia tidak akan pernah lelah untuk berjuang meskipun harus jatuh berulang kali. Sayangnya, ada begitu banyak orang yang justru mengeluh dan marah-marah ketika ia datang. Padahal ia sudah rela jatuh berkali-kali untuk memberi harapan hidup bagi setiap tanaman yang tak terawat dan nyaris mati," jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari lebatnya tetesan air hujan.
Niken berpaling dan menatapku, wajahnya menyunggingkan sebuah senyum, yang menurutku itu adalah senyum yang dipaksakan. Ia tidak menanggapi kalimatku yang cukup panjang tadi, matanya resah menatap langit yang masih mencurahkan tetesan air hujan.
"Hujan itu mengajarkan kita untuk setia, Ken. Ada orang yang jatuh berkali-kali hanya untuk mendapatkan atau menghadapi seseorang yang dia cintai dan sayangi, walaupun terkadang ia diperlakukan dengan tidak pantas. Hujan juga mengajarkan kita untuk mencintai dalam diam, kesetiaan dan kepedulian yang tak harus ditunjukkan secara langsung." Aku tersenyum menatap Niken yang masih manyun.
"Terima kasih Om Mario, super sekali!! Sayangnya, hujan membuat kita tidak bisa melakukan hal-hal yang seharusnya kita lakukan. Hujan membuat kita seperti orang yang cacat," ujarnya ketus.
"Siapa bilang?! Kita tetap bisa melakukan hal-hal yang biasa kita lakukan meskipun sedang hujan. Makan, nonton TV, bahkan tidur lebih lelap saat hujan." Aku membantah.
"Memang kita bisa tidur lebih lelap saat hujan. Tetapi hal itu hanya berlaku apabila hujannya tidak disertai guruh, petir dan kilat bahkan angin kencang seperti ini," keluh Niken.
"Nikmati sajalah, Ken. Jika didengarkan dengan baik, hujan juga memiliki irama. Mengalun indah seperti ombak di lautan. Terkadang, ketukannya bisa berubah beraturan. Dari lambat ke cepat atau sebaliknya. Sadar atau tidak, itu bisa menenangkan ketika ada masalah," kataku mencoba memberi saran.
"Masalahnya sekarang adalah, aku sudah terlambat ke kampus. Ketika hujan sudah mereda, maka pemandangan yang terlihat adalah kondisi jalanan becek dengan kubangan air yang kotor berlumpur di setiap bagian jalan yang tidak rata, sampah yang berserakan terbawa arus air yang meluap dari selokan yang tersumbat," ungkap Niken kesal.
"Itu kan salah manusia Ken, bukan hujan. Ada sesuatu yang indah yang akan dilihat setelah hujan reda," kataku seraya tersenyum.
Niken menatapku bingung.
"Pelangi. Fenomena pelangi hanya muncul setelah hujan reda, bukan?!" Aku tersenyum menjawab kebingungan Niken.
"Tapi tidak selalu akan ada pelangi setiap kali selesai hujan," bantah Niken.
"Memang benar begitu, tetapi pelangi hanya ada setelah hujan turun sementara mentari masih bersinar," aku menggumam.
"Sepertinya ada sesuatu yang menyebabkan Kakak menyukai hujan," tebak Niken.
"Ada satu kenangan indah saat hujan," jawabku sambil tersenyum.
"Apa itu?"
"Kamu ingin tahu?!" aku balik bertanya.
"Kalau Kakak tidak keberatan," ujar Niken lalu tersenyum.
"Karena ada seseorang yang harus kutemani hingga hujan reda, kemudian mengantarkannya ke sekolah. Bukan hanya di depan pintu gerbang seperti biasanya, tetapi hingga ke depan pintu kelasnya. Delapan hari kemudian malah sama-sama kehujanan di jalan, lantas memutuskan untuk kembali pulang sambil menikmati hujan di sepanjang perjalanan." Aku tersenyum ketika mengingat moment tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilarang Jatuh Cinta! 2
RomanceWARNING!! BERISI KONTEN SENSITIF, DIHARAPKAN TIDAK TERBAWA OLEH EMOSI YANG BERLEBIHAN KETIKA MEMBACA BAGIAN YANG MENYEBABKAN GEJOLAK EMOSIONAL. . . "Hanya ada dua pilihan ketika menjalani cinta beda keyakinan, ganti Tuhan atau ganti pacar. Sesungguh...