Pengorbanan - Part 02..
"Keadaan Sam lebih parah bila dibandingkan denganku, Ri. Sam lebih butuh pertolongan agar segera ditangani dengan tindakan medis. Kehadiranku hanyalah sebatas menolong mereka semampuku saja."
"Kamu juga terluka karena berupaya melindungi Sam dan juga Viona, mustahil Viona serta orang-orang yang datang menolong hanya diam dan tak memaksamu untuk ke rumah sakit juga," ucap Ari dengan kesal.
"Kenyataannya memang begitu kok, Ri. Aku bisa mengurus diriku sendiri tanpa bantuan orang lain," kataku mencoba tersenyum.
"Kamu harus ke rumah sakit Venz, luka-lukamu perlu dirawat termasuk di-rontgen. Apa yang kamu alami itu bukan hal yang sepele. Aku punya sedikit tabungan untuk membantu biaya rumah sakit." Nada kekhawatiran jelas terdengar dalam kalimat Ari.
"Kamu jangan khawatir, aku baik-baik saja. Hanya butuh beberapa hari untuk proses recovery." Aku meyakinkan Ari.
"Jangan keras kepala, Venz. Kamu selalu rela berkorban kalau tentang Viona, bahkan berkorban nyawa sekalipun. Kapan memikirkan dirimu sendiri?" gerutu Ari kesal.
"Aku kuat kok, kamu tenang saja. Dalam beberapa hari pasti sudah kembali normal." Aku tersenyum.
"Susah ya kalau ngomong sama kamu." Ari menghembuskan napas kecewa.
Rasa nyeri yang tiba-tiba terasa membuatku meringis dan tak merespon kalimat Ari. Mimpiku menjadi kenyataan, Viona berhasil kuselamatkan sedangkan aku sendiri terluka karenanya. Tak masalah Viona mengabaikanku, setidaknya aku bersyukur karena ia dan Sam selamat. Walaupun pada kenyataannya kondisiku bisa dibilang lebih parah dari Sam karena luka dalam.
"Kalau boleh disarankan, cobalah untuk tidak hanya peduli dengan keadaan orang lain, tetapi dirimu sendiri juga," kata Ari sambil bangun berdiri. Agaknya ia kesal karena aku sama sekali menolak keinginannya agar memeriksakan diri ke dokter.
Ari belum juga masuk setelah membuka pintu kamarnya, pandangan matanya tertuju padaku yang masih tetap duduk diam di depan pintu, berusaha menahan rasa nyeri yang begitu tajam. Sorot matanya menyiratkan keprihatinan yang dalam, dan kalimat terakhirnya itulah yang membuatku terdiam untuk waktu yang lama.
"Seharusnya kamu sadar bahwa apa yang sudah kita korbankan belum tentu dihargai orang." Kalimat Ari terus menerus terngiang di telinga.
-----ooOoo-----
Keesokan harinya.
Malam ini kondisiku sudah lebih baik sepulangnya dari rumah sakit. Pagi tadi aku muntah-muntah dan Ari dengan tegas memaksa agar aku dibawa ke rumah sakit. Hasil rontgen menunjukkan kalau tiga bilah tulang rusukku hanya retak, tidak sampai patah. Luka di bahuku juga infeksi karena hanya dibersihkan dengan air panas dan diperban seadanya.
Ari sangat marah ketika menyadari keadaanku saat itu. Aku memang tidak memberitahunya kalau bahuku juga terluka, dan ia kecewa karena merasa tak dianggap sama sekali padahal aku selalu peduli padanya. Aku memakluminya, Ari memang berhak marah. Aku tahu ia peduli dengan keadaanku, tetapi aku hanya tak ingin menjadi beban orang lain, apalagi akhir-akhir ini ia sibuk dengan urusan kuliahnya yang sudah mendekati akhir.
Dokter mengijinkan aku pulang sore harinya setelah saling adu argument dan dengan sedikit paksaan. Aku memang ingin pulang karena lukaku tidak banyak, hasil rontgen juga tidak menunjukkan hal yang serius. Termasuk dengan untuk menghemat biaya perawatan.
![](https://img.wattpad.com/cover/97435768-288-k54015.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilarang Jatuh Cinta! 2
RomanceWARNING!! BERISI KONTEN SENSITIF, DIHARAPKAN TIDAK TERBAWA OLEH EMOSI YANG BERLEBIHAN KETIKA MEMBACA BAGIAN YANG MENYEBABKAN GEJOLAK EMOSIONAL. . . "Hanya ada dua pilihan ketika menjalani cinta beda keyakinan, ganti Tuhan atau ganti pacar. Sesungguh...