Perdebatan - Part 04
Papa masih diam, termasuk Mama.
"Apa definisi dari kata 'terkemuka' menurut Papa dan Mama? Alquran sendiri menyebutkan bahwa Isa Almasih itu adalah seorang yang terkemuka di dunia dan di akhirat. Tidak ada manusia, Nabi, Rasul sampai Malaikat pun yang punya kedudukan atau kehormatan terkemuka di dunia dan di akhirat kecuali Allah SWT. Jika Yesus itu bukan Tuhan, mengapa Ia disebut sebagai yang terkemuka di dunia dan di akhirat?"
Papa dan juga Mama sama sekali tidak menjawab. Akupun memilih duduk diam, sudah lelah dengan perdebatan ini. Sampai kapanpun tidak akan ada titik temu, masing-masing tetap mempertahankan kebenarannya sendiri-sendiri. Setelah cukup lama berdiam diri, aku lalu bangkit dan melangkahkan kaki ke kamar, membiarkan Papa dan juga Mama duduk diam dengan pikirannya sendiri-sendiri.
"Kamu mau ke mana?" tanya Papa begitu aku membuka pintu kamar.
"Tidak ke mana-mana kok, Pa. Cuma masuk kamar," jawabku datar.
"Baguslah kalau begitu. Segera kemasi barang-barangmu dan pergi dari rumah ini! Papa sudah pernah bilang, kalau kamu masih mau tinggal di rumah ini, putuskan hubunganmu dengan Sam dan lupakan niatmu untuk pindah agama! Ternyata kamu menolak, maka sekarang pergilah!" ucap Papa tegas.
Aku terhenyak. Papa tega mengusirku? Aku berdiri mematung di depan pintu kamar, berharap ini hanya halusinasi. Aku menatap Mama, namun Mama sama sekali tidak bereaksi.
"Tunggu apa lagi? Kamu sudah memilih dan memutuskan jalan hidupmu sendiri dengan tetap bersama Sam, pacar kafirmu itu. Kamu lebih memilih meninggalkan agama dan kami sebagai orangtua dan keluarga hanya demi cinta. Silahkan pergi, Papa tidak sudi punya anak yang murtad seperti kamu!" Papa benar-benar serius dengan ucapannya.
Dengan gontai aku melangkah masuk dan duduk di tepi tempat tidur. Ke manakah aku harus pergi malam ini? Saudara-saudara Papa ataupun Mama tentu akan mempertanyakan mengapa aku tiba-tiba datang dan menginap di rumah mereka. Aku bisa memberi alasan, tetapi tidak mungkin tinggal bersama mereka untuk waktu yang aku sendiri belum tahu sampai kapan. Belum tentu juga mereka akan tetap menerima dan mendukung ketika mereka tahu alasan yang sesungguhnya mengapa Papa tega mengusirku dan tidak lagi menganggapku sebagai anaknya.
Kepada siapakah aku harus minta tolong? Sayang sekali Samuel tidak bisa dihubungi. Mustahil juga bila ada salah satu kamar kost milik orangtuanya yang sedang kosong dan aku bisa tinggal di sana.
"Kenapa malah melamun?" Suara bariton Papa dari depan pintu kamar membuatku terlonjak kaget. Aku memang tidak menutup pintu kamar tadi.
"Kamu sudah bukan anak Papa lagi. Lebih baik Papa kehilangan anak daripada punya anak yang durhaka dan murtad seperti kamu!" Jari telunjuk Papa mengarah padaku dengan disertai tatapan penuh amarah.
Dengan gontai aku bangun, mengambil koper kecil dari sudut kamar lalu menuju ke lemari pakaian dan membukanya. Beberapa potong pakaian diambil dan dijejalkan begitu saja ke dalamnya. Air mataku menetes satu-satu, mengiringi aktivitasku membereskan segala sesuatu yang hendak kubawa pergi. Sedih rasanya ketika harus menerima kenyataan, bahwa aku termasuk salah satu anak yang diusir oleh orangtuanya dan tak lagi diakui sebagai anggota keluarga seperti sinetron televisi.
Di depan pintu kamar, aku berhenti sejenak dan menatap Papa yang sejak tadi mengawasiku dari luar. Mama beserta Manda hanya berdiri mematung di ruang tengah sambil memandangku tanpa mengucapkan apa-apa. Telah berulang kali aku mengusap air mata yang terus mengalir sambil menatap mereka satu per satu, namun aku tahu itu tidak akan bisa merubah keputusan Papa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilarang Jatuh Cinta! 2
RomanceWARNING!! BERISI KONTEN SENSITIF, DIHARAPKAN TIDAK TERBAWA OLEH EMOSI YANG BERLEBIHAN KETIKA MEMBACA BAGIAN YANG MENYEBABKAN GEJOLAK EMOSIONAL. . . "Hanya ada dua pilihan ketika menjalani cinta beda keyakinan, ganti Tuhan atau ganti pacar. Sesungguh...