Pengorbanan (04)

164 5 2
                                    


Pengorbanan - Part 04.


"Aku tidak menyesal, Sam." Tiara mengeleng pelan. "Aku sama sekali tidak menyesal mencintai kamu. Yang kusesalkan, kamu terluka karenanya." Jemarinya menelusuri wajah Sam dengan gerakan lambat.

"Kamu tidak salah, Ra. Apa yang terjadi ini bukan keinginan kamu. Bukan aku sendiri yang terluka dengan keadaan ini," ucap Sam lirih.

"Apakah sudah tak ada lagi jalan lain? Apa hubungan kita sudah tidak bisa dipertahankan lagi?" suara Tiara terdengar parau. Kedua matanya kembali merah, butiran bening yang sedari tadi begitu rapat dia lipat dalam senyum kebohongannya perlahan menitik, membasahi wajah lesunya.

"Entahlah, Ra. Jalan pikiranku sudah buntu untuk sekadar mencari jalan mana yang harus kita tempuh," jawab Samuel pasrah.

"Bagaimana dengan perjanjian kita?" ujar Tiara kecewa. Pandangannya yang sejak tadi begitu lekat ke wajah Samuel beralih ke beberapa pejalan kaki yang lewat tak jauh dari tempat mereka duduk di sebuah bangku sudut taman.

Samuel terdiam. Hanya sesekali suara desahannya yang terdengar begitu pasrah.

"Maaf," ucap Samuel datar.

"Maaf untuk apa? Untuk kekalahan mempertahankan hubungan kita? Atau untuk kepasrahanmu?" Nada suara Tiara perlahan meninggi, nampak sebuah emosi di kedua matanya.

"Aku sudah tidak mampu lagi, Ra. Setiap usaha yang sudah kulakukan untuk mempertahankanmu hanya mendapat sebuah cacian dari keluarga besarmu. Mungkin juga peristiwa yang kualami ini adalah akibat kegigihan memperjuangkanmu. Pada akhirnya aku sadar bahwa kita tidak akan pernah bisa bersama. Mungkin aku bukan yang terbaik untukmu, atau memang kamu bukan untukku!" ucap Samuel tanpa mampu menatap kedua mata Tiara.

"Lihat aku, Sam! Tatap mataku dan katakan sekali lagi!" pinta Tiara sembari menarik lengan Samuel, membuatnya meringis.

"Aku sayang sama kamu, Ra. Sayang banget," ucap Sam seraya menatap lurus manik mata Tiara. "Tapi aku juga sadar, keadaan sama sekali tidak berpihak pada kita," gumam Samuel pelan.

"Sam, cinta adalah hati dan bahagia itu di sini," ujar Tiara sementara tangannya menempel pada dada kanan Samuel. "Aku bahagia denganmu, Sam. Bukan dengan yang lain!" sambungnya.

"Aku juga bahagia bersamamu, Ra. Tapi cinta saja tidak akan cukup untuk mengarungi bahtera kehidupan bersama. Beberapa hari ini aku sudah berpikir bahwa restu dan doa orang tua itu penting. Aku tak mau kamu harus menjadi anak durhaka yang menentang orang tuamu. Sudah cukup penderitaanmu selama ini, terusir dari rumah sendiri karena aku. Definisi cinta adalah bahagia. Aku rela melepasmu bahagia dengan hati yang lain," kata Sam sambil menggenggam kedua belah tangan Tiara.

"Tapi aku sayang kamu, Sam. Aku tak mau berpisah denganmu." Tiara menggeleng.

"Aku juga, Ra. Jika kita memang jodoh, maka kita akan bersatu nanti. Entah dengan cara yang bagaimana." Kali ini ucapan Sam terdengar sedikit memberi kelegaan pada hati Tiara.

"Aku takut kehilangan kamu, Sam," bisik Tiara setelah memeluk Sam erat. "Aku takut kalau Papa kembali bertindak nekat. Papa sudah membuktikan ancamannya," sambung Tiara lirih.

Samuel hanya diam dalam dekapan Tiara. Cukup lama keduanya saling diam dengan pikiran mereka masing-masing. Hari terakhir, pertemuan terakhir. Perjuangan panjang yang pada akhirnya mesti diakhiri demi kebaikan bersama.

"Meskipun aku kecewa karena apa yang sudah dikorbankan dalam perjuangan menjadi sia-sia, setidaknya aku senang melihatmu bahagia dengan jodoh pilihan orangtuamu. Meskipun bahagiaku hanyalah serpihan-serpihan bahagiamu. Walaupun sebenarnya kebahagiaanku itu hanyalah kepura-puraan." Samuel mendesah.

Dilarang Jatuh Cinta! 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang