Kata Maaf Terakhir - Part 02
"Kakak juga tidak tahu Papa pergi ke mana, Nis. Sebaiknya kamu jangan kangen seseorang yang tidak merasakan hal yang sama." Aku langsung teringat percakapanku dengan Dhea siang tadi ketika ia juga merindukan ayahnya.
"Kalau saja Papa ada, aku kan nggak akan diejek dan dipermalukan karena sepatunya berlubang. Punya tas sekolah yang baru, sepatu sekolah yang baru, buku-buku pelajaran, alat tulis, dan lain-lain," ucap Annisa dengan mata menerawang.
"Bukan kamu sendiri yang diperlakukan demikian oleh teman-teman sekolah, Nis. Kakak juga mengalami hal yang sama, namun lebih memilih untuk menghindar. Kakak janji, hanya butuh beberapa hari lagi kamu sudah memiliki sepatu sekolah yang baru. Kita tidak punya Papa karena orang tersebut pada kenyataannya lebih senang melihat kita diejek dan dihina oleh orang lain karena kita miskin." Emosiku tiba-tiba naik ketika Annisa mengaku kalau ia kangen Papa.
"Aku bantu Kakak jualan di pasar juga, ya. Biar sepatunya lebih cepat dibeli." Kalimat Annisa membuatku terperangah.
"Tidak usah, Nis. Kamu di rumah saja, membantu Mama mengerjakan pekerjaan rumah yang bisa kamu kerjakan. Biar Kakak dan Mama saja yang bekerja mencari uang." Aku menolak keinginan Annisa.
"Tapi kan ...."
"Pertolongan kamu lebih dibutuhkan dalam rumah, Nis. Saat pulang kerja, Mama akan senang kalau rumah dalam kondisi rapi, tugas dan tanggungjawab kamu sudah beres. Mama akan punya waktu lebih untuk istirahat sehingga tetap sehat dan mampu terus bekerja mencari uang untuk memenuhi kebutuhan kita." Aku memotong kalimat Annisa dan menjelaskan dengan panjang lebar.
Annisa mengangguk-angguk mengerti. Aku lalu mengajaknya masuk ke dalam rumah sambil merangkul bahunya. Dalam hati aku berjanji untuk lebih bekerja keras agar semua kebutuhan sekolah buat Annisa bisa dibeli lebih cepat dan ia tidak lagi diperlakukan tidak pantas di sekolah. Aku akan buktikan kalau aku mampu menggantikan peran dari orang yang disebut Papa.
-----ooOoo-----
Tanpa sadar satu titik air mataku menetes. Semua kenangan tentang sulitnya perjuangan untuk tetap bertahan hidup tanpa kehadiran sosok yang disebut Papa itu berkelebat melintas. Ada begitu banyak peristiwa dalam hidup yang sering membuat Annisa menangis karena tidak tahan dihina sebagai orang miskin. Dan aku harus rela mengorbankan sekolahku demi membantu Mama bekerja mencari uang agar tetap survive.
Semudah itukah memberi maaf? Setelah menghilang tanpa beban bertahun-tahun yang lalu, masih pantaskan ia dipanggil Papa ketika ia kembali pulang? Hanya karena kondisinya sekarang yang sedang sakit, lantas semua pengalaman pahit yang mesti dijalani karena kepergian dirinya langsung sirna begitu saja?
Aku lalu bangun dari duduk dan meletakkan sebuah amplop putih di atas meja kerjanya. Isinya hanya sebuah ATM dan selembar surat yang kutuliskan semalam. Mungkin Mama dan Annisa bisa, namun aku belum bisa memaafkan dia. Entah kapan, aku sendiri belum tahu. Maybe someday, just let it go with the flow.
Setelah menutup pintu dan menguncinya, aku segera menuju ke pangkalan lagi. Dalam perjalanan, aku melihat Viona baru keluar dari salah satu kios di pinggir jalan dekat rumahnya. Dengan segera aku menghentikan langkahnya dengan memposisikan sepeda motor dengan posisi yang membuatnya tersudut.
"Dek, Kakak perlu bicara sebentar. Sorry karena Kakak memaksa dengan cara seperti ini. Tapi cuma begini caranya agar Ade mau bicara," ucapku memulai obrolan dengan hati-hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilarang Jatuh Cinta! 2
RomansaWARNING!! BERISI KONTEN SENSITIF, DIHARAPKAN TIDAK TERBAWA OLEH EMOSI YANG BERLEBIHAN KETIKA MEMBACA BAGIAN YANG MENYEBABKAN GEJOLAK EMOSIONAL. . . "Hanya ada dua pilihan ketika menjalani cinta beda keyakinan, ganti Tuhan atau ganti pacar. Sesungguh...