Kata Maaf Terakhir - Part 03
"Kita ke rumah sakit, Kak. Kata dokter, kondisi Papa tiba-tiba drop," ucap Annisa dari seberang sana.
"Maaf, Kakak sedang sibuk. Kamu saja yang pergi." Aku menolak permintaan Annisa.
"Kak, tak bisakah sedikit saja mengabaikan rasa benci? Kakak hanya menyakiti diri sendiri karena tetap menyimpan kemarahan dan kebencian dalam hati." Terdengar nada putus asa dari seberang sana.
"Kakak sedang sibuk, Nis. Kamu saja yang pergi. Jika memungkinkan, Kakak akan menyusul," kataku akhirnya.
Aku tak tahu harus mengatakan apa. Pentingkah pergi bersama Annisa dan mengabaikan kebencian dan kemarahan seperti perkataan gadis itu tadi? Atau aku tetap di sini dan tidak peduli walau apapun yang terjadi?
"Kak, kalimat Kakak kemarin sangat menyakitkan buat Papa. Sangat mungkin kondisi Papa drop karena memikirkan itu sejak semalam," kata Annisa lagi.
"Kakak hanya menyampaikan kebenaran berdasarkan realita, Nis. Kamu juga tentu sangat memahami arti dari kalimat itu. Ombak yang telah pecah dan merekah menjadi buih-buih putih di tepi pantai, tak'kan pernah kembali menjadi gelombang. Tidak akan pernah!" Aku mengulangi ucapanku kemarin.
"Kak, aku tidak mengetahui apa arti yang sesungguhnya dari kedewasaan dalam kasih. Tetapi bagiku, kedewasaan dalam kasih itu adalah ketika seseorang menyakitiku dan aku mencoba memahami keadaannya ketimbang dengan berusaha membalas menyakitinya. Mudah-mudahan Kakak juga tidak akan menyesal." Annisa langsung memutus sambungan telepon setelah selesai mengucapkan kalimat itu.
Aku terdiam dengan tangan masih memegang handphone yang masih menempel di telinga. Ternyata Annisa lebih dewasa pemikirannya dibanding aku. Kalimat Annisa'kedewasaan dalam kasih' terus terulang di kepala. Akhirnya aku menyerah. Tanpa menunggu lama, aku segera mandi dan bersiap-siap untuk menyusul Annisa ke rumah sakit.
"Kami akan melakukan semua yang terbaik untuk menolong ayahmu, tetapi Tuhanlah yang menentukan. Kita sama-sama berdoa saja." Terdengar ucapan dokter pada Annisa di depan ruang ICU begitu aku sampai di rumah sakit.
"Apa Papa bisa sembuh, Dok?" tanya Annisa dengan wajah khawatir.
"Untuk saat ini, kondisinya semakin memburuk. Semoga saja dalam beberapa jam kemudian sudah ada perkembangan ke arah yang lebih baik," jawab sang dokter.
"Apa tidak ada lagi yang bisa kita lakukan?" tanya Annisa lagi.
"Aku tahu bagaimana perasaanmu. Kita berdoa saja," ucap dokter tersebut mencoba menghibur.
"Andai aku bisa meringankan penderitaan yang dirasa," ucap Annisa lirih.
"Aku tahu Papamu kuat, ia akan baik-baik saja." Sosok berjubah putih itu tersenyum.
Dokter itu lalu pergi meninggalkan Annisa yang masih berdiri dengan tatapan kosong. Aku mendekat lalu memegang tangannya dan menuntun menuju kursi ruang tunggu ICU. Duduk diam dengan alam pikiran masing-masing, Mama di tengah antara aku dan Annisa.
Sembilan puluh menit kemudian dokter memberi ijin untuk menjenguk Papa yang kondisinya tidak kunjung membaik. Begitu masuk, Annisa langsung berlari dan menggenggam tangan Papa, seolah hendak mengabarkan kehadirannya. Aku hanya diam, berdiri canggung di belakang Annisa dan juga Mama, sementara bunyi denging elektrokardiogram terdengar jelas dalam keheningan.
Aku menatap sosok lelaki tua yang tak berdaya itu yang beberapa bagian tubuhnya terdapat selang, termasuk dengan alat bantu pernapasan pada mulut dan hidungnya. Meskipun luka di lengannya telah tertutup perban, namun memerah dan bengkak hingga siku. Aku terdiam tanpa kata, rasa benci dan dendam yang selama ini begitu menguasai terkikis dengan perlahan.
![](https://img.wattpad.com/cover/97435768-288-k54015.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilarang Jatuh Cinta! 2
RomanceWARNING!! BERISI KONTEN SENSITIF, DIHARAPKAN TIDAK TERBAWA OLEH EMOSI YANG BERLEBIHAN KETIKA MEMBACA BAGIAN YANG MENYEBABKAN GEJOLAK EMOSIONAL. . . "Hanya ada dua pilihan ketika menjalani cinta beda keyakinan, ganti Tuhan atau ganti pacar. Sesungguh...