Orang tidak bisa memilih siapa bapaknya, ibunya, jenis kelaminnya, warna kulitnya, sukunya dan agamanya. Jadi, aku merindukan kalian dan tidak mungkin bisa melupakan kenangan bersama kalian.
-Je t'aime-
.SERAGAM putih abu lengkap dengan dasi membuatku rindu akan segalanya. Kalau melihatku dalam pakaian kebangsaan ini kadang dulu aku menyesal karena selalu berpikiran negatif jika aku tidak bisa memakai seragam itu lagi. Rapih. Aku berdiri di depan cermin di kamarku. Cermin besar yang sering digunakan untuk menatap seluruh badan sebelum keluar kamar. Seperti sudah menjadi rutinitas setiap pagi kalau mau pergi kemana-mana harus ngaca dulu, untuk memastikan jika penampilan kita sudah rapih atau belum.
Aku memasukkan beberapa buku ke dalam tas, lalu melangkahkan kaki keluar kamar untuk menyambut pagi yang cerah ini.
Albion menusuk garpunya ke potongan sosis yang mulai kecampur dengan nasi goreng buatan Bi Inah. "Malam ini Bion mau menginap di rumah teman."
Aku menyeruput susu coklat panas dari gelas besar di hadapan ayah, gini nih kalau ayah kena korban iklan di TV. Cuma gara-gara kepengen anaknya tinggi jadi setiap pagi harus minum susu, mau gak mau harus di minum bikin aku kekenyangan.
"Kenapa harus menginap?" Alis ayah naik sesenti.
"Pengen aja, bosen di rumah."
Ayah terlalu mengenal Bion hingga bisa mendeteksi kalau Bion lagi bohong. Dan aku yakini, kembaranku memang sedang berbohong. "Menginap di rumah teman atau menginap di bar?"
Nahloh! Ketahuan kan, Bion menatap ayah heran. "Kalo Bion bilang mau menginap di bar, pasti ayah gak bakalan ijinin Bion."
"Ayah ijinin, asalkan jangan minum berlebihan apalagi sampai mabuk-mabukkan. Ayah gak akan turun tangan kalo kamu masuk rumah sakit lagi."
Bion mendorong kursinya ke belakang. "Bion gak bakalan masuk rumah sakit lagi, paling masuk puskesmas doang."
Ayah menggeleng, aku juga ikutan. Apa bedanya? Dasar Bion, kalau ada maunya harus dikabulkan. "Lo gak berubah ya."
Bion terbatuk, menyemburkan air dari mulutnya. "Gue emang gak pernah berubah, tapi lo yang berubah."
"Berubah apanya? Gue masih Alera yang dulu kok."
Bion berdecak. "Sikap lo yang berubah, gak sadar?"
Aku mengernyitkan dahi. "Sikap? Maksud lo?"
"Lo gak ingat ucapan gue waktu itu? Perlu gue jelasin lagi?" bentak Bion. "saat lo bersikeras untuk pergi ke Singapura demi liburan, lo pergi ke luar negeri dengan keadaan ibu sakit dan akhirnya meninggal. Bahkan lo gak anterin ibu ke tempat peristirahatannya."
Ayah menatap tajam ke arah Bion. "Bion cukup!"
"Alera berubah yah, dia bukan Alera yang Bion kenal dulu. Ayah bisa kan gak usah belain anak gak berguna kayak dia?"
Aku dan ayah saling pandang. Rasa bersalah mulai menyelimuti hatiku, aku bingung harus menjelaskan ke Bion seperti apa. "Bion.." gumamku pelan.
"Alera gak berubah Bion, justru kamu yang berubah. Semenjak kamu sering berkumpul di bar, sikap kamu jadi ketus seperti ini."
Bion mengembuskan napas kasar. "Jangan pernah berpikiran negatif pada teman-teman Bion."
"Berhenti keluyuran setiap malam Bion!" tegas ayah.
"Bion gak betah di rumah, suasana di rumah itu udah beda. Gak seasik dulu lagi."
Spontan aku bertanya."Jadi lo lebih mementingkan teman dibandingkan keluarga?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Je t'aime
Teen FictionSelalu bawa perasaan sama sahabat cowok alias sahabat rasa pacar? Tapi Mario menolak seperti itu. Karena baginya berpacaran dengan sahabat tidak mengenakan. Berbeda dengan Alera, cewek itu sangat menyayangi Mario - bahkan melebihi rasa sayang terha...