ENAM : Alera or Gitta

79 37 13
                                    

Kita adalah dua orang yang saling bersama, tapi tidak bisa dipersatukan karena hatimu memilih yang lain

-Je t’aime-
.

MARIO, Haikal dan Rano masuk ke kelas begitu bel masuk terdengar. Ketiga cowok itu menghampiri aku, Luna dan Raisa yang fokus pada layar kecil di depan tanpa menghiraukan suara bel yang menandakan bahwa seluruh murid SMA Angkasa harus kembali belajar.

Haikal melirik dan menyengir pada kami bertiga. “Gue ikut nonton dong, episode yang baru kan? Gue kangen sama Joy Red velvet, gila tuh cewek cantik banget.”

“Ish, ya udah sini gabung, gak usah sok-sok’an pake acara ijin segala.” sambar Raisa cepat.

Setelah dapat ijin, Haikal duduk di sebelah aku. Dia menjatuhkan kepalanya di pundakku. “Numpang nyender ya, Al.”

Mario menarik napas seraya menarik seragam Haikal sampai cowok itu tersungkur ke samping. Dia kayak yang gak suka saat Haikal berdekatan denganku, padahal dia sudah memiliki kekasih – untuk apa cemburu padaku?

“Duh.. lo apaan sih, Yo.” Haikal bangkit dengan sigap. Alisnya bertaut serta napasnya berembus kasar menatap Mario yang tiba-tiba menarik tubuhnya sampai tersungkur ke lantai. Rahang Haikal mengertak, sesungguhnya dia ingin memberikan sebuah pukulan di wajah Mario.

“Jangan nempel-nempel ke Alera.”

Haikal mendadak tertegun. Ada yang salah dengan Mario. Setelah menyadari kalau Mario kelihaatan cemburu, padahal sudah punya Gitta. “Lo udah ada Gitta, masih aja cemburuin gue sama Alera.”

“Jangan serakah dong, Yo.”

Dahi Haikal terangguk-angguk. “Atau jangan-jangan lo pengen punya pacar dua? Biar kayak sarimie isi dua?”

Mario mengepal erat tangannya.

Jangan bilang kalau Mario ada hati sama aku? Tolong! Aku mulai kegeeran.

“Apaan sih, Kal. Gue cuma suka sama Gitta, gak ada yang lain.”

DEG. Pikiranku kalau Mario ada hati sama aku itu salah, ingat, Mario cuma suka sama Gitta gak ada yang lain. “Lagian, Alera udah gue anggap adik gue sendiri. Mana mungkin gue suka sama dia, bukan tipe gue.”

Cukup! Cukup! Aku gak tahan. “Ya iya lah, kita kan cuma sahabatan, gak mungkinlah kalo Mario suka sama gue.” Semaksimal mungkin aku menahan gemetar tubuhku. “Mario juga bukan tipe cowok gue.”

“Tuhkan.. denger kan, Alera bilang apa. Kita tuh cuma sahabatan dan gak akan pernah jadian.”

Luna menangkap tanganku yang meremas rok, dia mengangguk ke arahku seolah memberi ketenangan. “Aduh kenapa sih jadi cinta-cintaan gini, ganggu kita lagi nonton aja tau gak?”

“Udah deh mending kalian masuk kelas, bel udah bunyi dari tadi.”

Luna mengangguk sambil mengacungkan jempol. “Bener kata Rano, udah deh sana pulang ke alam masing-masing jangan bikin keributan di kelas orang.”

Hening. Kami menatap Luna yang pandangannya masih terfokus pada layar di depan.

Haikal menoyor kepala Luna pelan. “Lo juga harus pulang ke alam lo, tempat lo bukan disini.” Tanpa aba-aba Haikal menggendong Luna keluar kelas sampai cewek itu teriak-teriak kayak sherina lagi diculik penjahat. Sedangkan Mario masih mematung menatap ke arahku.

“Lo gak ikut mereka, Yo?” Mario masih bergeming. “ada yang salah dengan gue?” tambahku karena Mario begitu lekat menatapku, jadi parno sendiri.

Raisa yang berada di seberangku menyeletuk. “Mario balik gih! Jangan tatap Alera terus nanti Gitta marah loh, dia kan punya banyak mata-mata. Secara dia itu cemburuan orangnya.”

Mario menatap Raisa sekilas, lalu beralih padaku. “Pulang sekolah bareng gue ya, ada yang perlu gue bicarain ke elo.” Mario menelengkan kepalanya kembali menatap Raisa. “Iya, mata-matanya lo kan? Di bayar berapa sih sama Gitta?”

Raisa lantas terkekeh pelan. “Sori. Janji deh gue gak akan bilang-bilang ke Gitta kalo lo suka genit ke cewek lain, tapi ada syaratnya.”

“Apa?”

“Beliin kuota telkomsel tiga puluh giga, gue mau download drakor. Ya ya ya?” Raisa memohon sambil memasang tampang memelas.

“Oke! Gue ke kelas ya. bye.” Mario mengacungkan dua jempolnya sebelum akhirnya pergi melengos ke keluar kelas.

...

Aku menunggu Mario di parkiran sekolah. Cukup kesal karena Mario lama, katanya dia kebelet pipis jadi ke toilet dulu. Aku penasaran sama Mario, katanya cowok itu mau bicara sesuatu padaku. Kira-kira dia mau ngomongin apa ya?

Aku merogoh saku rok guna mencari headset, dan gak ada. Aku lupa kalau headsetnya tadi dipinjam Raisa meski kadang lupa balikinnya. Pokoknya benda apapun yang dipinjam Raisa gak akan dikembalikan, secara dia itu orangnya pelupa, kalau pun ditagih pasti dia selalu jawab ‘duh gue lupa nyimpen, nanti gue cari deh’ kalimat terakhir itu kalimat tipuan, mana mau Raisa cari benda hilang yang kita punya – alhasil aku harus merelakan headset itu untuk Raisa, meskipun berat.

“Muka lo kusut karena nunggu gue kelamaan ya?”

“Gak.” jawabku singkat.

“Terus kenapa?” tanya Mario seraya mengambil motornya.

“Headset gue dipinjam Raisa,” kataku manyun. “lo tau kan, Yo, kalo Raisa udah pinjem barang orang gak pernah dibalikin.”

Mario tertawa, sementara aku melotot ke arah Mario. Lagi kesal kok malah bikin kesal. “Kamu lucu ya, kalo lagi bete.” Cowok itu mencubit pipiku gemas.

“Ish Mario!” Aku mendengus sebal, Mario malah menambah badmood saja.

“Jangan marah-marah terus, nanti muka lo keriput.”

“Lo doain gue keriput?” Aku menunjuk wajah Mario kasar.

“Yuk naik.” Mario tidak menjawab pertanyaanku, dia mengulurkan helm untukku. “Nih, pake.”

Aku mengambil benda itu kemudian perlahan naik ke motor. Gak peduli Mario sudah punya pacar, yang penting cowok itu masih perhatian padaku. Tapi jangan terlalu gak peduli juga sih, nanti kalau aku dilabrak sama Gitta kan bahaya. Secara cewek itu punya pasukan cewek-cewek rempong di sekolah.

Mario berhenti tepat di gerbang hitam yang menjulang tinggi ke atas, kemudian dia menatikan mesin motornya. “Udah sampe.”

“Makasih ya, Yo.” Aku mengaitkan helm di jok belakang motor.

“Alera,” tegur Mario ketika cowok itu mengingat sesuatu yang harus dibicarakannya. “gue harap lo bisa ngertiin hubungan gue sama Gitta.”

Bahuku sedikit tersentak, cepat-cepat wajah ceriaku berubah. “Hm?”

“Gitta itu orangnya manja kayak lo. Sekalinya gue gak tepatin janji, dia bakalan ancam gue untuk putus. Jadi gue mohon lo bisa ngertiin gue, kalo gue gak bisa setiap hari antar-jemput lo atau temenin lo pergi.”

Aku mengibaskan tangan ke arah Mario. “Gak apa-apa, Yo, Gitta lebih penting dari pada gue.”

Cengiran lebar menghiasi wajah cowok itu setelah mendengar jawabanku yang mungkin membuat hatinya tenang. “Oke deh, gue cabut ya. Titip salam buat ayah.”

Aku melengkungkan senyum miris. “Iya, hati-hati.”

Senyum Mario pun menghilang tertutup kaca helm, dia menekan klakson sebelum akhirnya menghilang dari pandanganku.

.
[ToBeContinue]
Siapa yang pernah merasakan cinta pada sahabat sendiri, acungkan kaki? – oke maaf aku gaje.
Vote dan komen.

Je t'aimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang