DUA PULUH EMPAT : Larangan?

27 5 0
                                    

Jatuh hati?

-Je t’aime-
.

MENIT terakhir sebelum bel pulang berbunyi dihabiskan setiap murid untuk membereskan buku-buku dan peralatan tulis di meja, lalu menggendong tas di pundak setelah semuanya beres. Begitu tahu guru mapel pamit untuk keluar kelas, aku bangkit menghampiri kursi Raisa yang masih sibuk membereskan buku-buku yang masih berserakan di atas meja.

Aku gemas dengan barang bawaannya Raisa yang seperti anak TK, semua alat tulis dia bawa sampai sudah seperti toko buku. Jika diberitahu Raisa selalu saja nyengir kuda gak jelas tanpa buka suara. “Sa, untuk apa sih bawa peralatan banyak? Lagipula yang kita butuhin cuma sedikit.”

Raisa yang sedang menarik ristleting ransel gak menoleh, tetapi untuk kali ini dia menjawab. “Perpisapan kalo ada apa-apa, temen sekelas bisa pinjem ke gue asal dibalikin lagi aja.”

Aku mendelik, dalam hati berkata helo?! Lo gak nyadar, selama ini kalo lo pinjem barang punya gue gak pernah dibalikin.

“Al, gue mau ngomong sama lo.” Tiba-tiba Rano berdiri di sampingku dengan muka kesal.

Aku menoleh dengan tampang heran, benar-benar heran, gak biasanya Rano seperti ini. “Ngomong aja, gue dengerin.”

“Tadi pagi waktu Mario dijailin sama Darrell lo gak bantu dia?”

“Lo gak kasian sama Mario setelah dia babak belur karena ulah Darrell?” cecar Rano membuat tubuhku refleks menghadap cowok itu.

“Al, gue pikir lo udah gak waras ya.” Kali ini Rano berbicara lebih serius. “Lo suka kan sama, Darrell?”

Aku mengembuskan napas. Ada getaran dalam nada bicaranya. “Apaan sih lo, nuduh gue suka sama Darrell segala.”

Rano seakan tak percaya dalam ucapan dan tatapan mataku, aku bingung, sungguh. Entah suka atau apa, aku merasa nyaman berada di dekat Darrell melebihi rasa nyamanku pada Mario. “Oke fix, lo suka sama Darrell tapi lo masih bingung dengan perasaan lo yang sesungguhnya.”

Aku kembali menghadap Raisa. Setelah melihat cewek itu yang sudah selesai beres-beres, aku mengajak dia untuk pulang. “Balik yu, Al.” ajak Raisa, mungkin dia gak mendengarkan pembicaraan aku dengan Rano tadi.

Percakapan antara aku dan Rano sempat terhenti karena ajakan pulang dan Raisa menatap Rano untuk berhenti berbicara dengan aku. Hampir semua murid sudah beranjak dari ruangan tetapi aku dan Raisa harus bertahan di kelas karena Rano menahan kami berdua yang berkeras kepala ingin menyambung persoalan tadi.

“Jujur sama gue.”

“Gue harap sih, lo gak suka sama Darrell. Gue sebagai sahabat lo, gak akan bisa relain lo pacaran sama Darrell.”

“Lo kok ribet banget sih, udah kayak emak-emak yang ngomelin anaknya gak boleh pacaran tau gak. Ini urusan gue, masalah gue suka atau engga sama Darrell, bukan urusan lo. Ngerti?!” kataku diiringi dengan desahan.

Rano memutar bola matanya malas. “Darrell nakal, Al. Kenapa sih rata-rata cewek jatuh cinta sama badboy, pengen kayak dilan ya?”

Aku yang gak ingin membahas masalah itu lagi. mengabaikan Rano. Lalu menarik tangan Raisa cepat-cepat keluar kelas. “Lo harus jauhin Darrell, Al. Dia bahaya, gak baik buat cewek sebaik lo.”

Aku berhenti melangkah, balik badan sambil menyipitkan mata. “Lo pasti disuruh Mario, kan, untuk bilang itu ke gue?”

“Kenapa sih? Ini urusan gue, kenapa kalian harus ikut campur?” kataku sedikit teriak. “Gue tanya sama lo? Pernah gak gue ngatur-ngatur kehidupan lo supaya lo gak dekat-dekat sama orang-orang yang menurut gue nakal. Pernah gak?!” bentakku.

Cukup! Aku sudah kelewat kesal.

“Mario pantas ngomong itu sama lo, Al. Lo buta? Darrell anak berandal, dia sering dihukum, jarang masuk kelas, suka berantem, suka mabuk, sering keluar masuk ruang bk.”

“Lo pernah denger gak? Pepatah yang mengatakan kalo kita jangan melihat orang dari covernya aja, dan itu berarti hubungan pepatah itu ada sangkut pautnya sama Darrell.”

“Tapi Al-“

Aku mengeratkan pegangan tangan pada Raisa. “Tolong bilang sama Mario, jangan ikut campur urusan gue sama Darrell. Kita berdua cuma sebatas sahabat, gak baik kalo sahabat gak mendukung sahabatnya untuk deket sama cowok yang dia sukai.”

“Gue-“

“Lo gak berani? Oke. Gue yang bilang.” Hentakkan kaki menggambarkan kalau aku kesal sama Rano. Kenapa coba, mau-maunya dia disuruh Mario untuk bicara soal Darrell.

“Alera?” sapa Luna yang dibonceng Haikal.

“Kenapa lo, Al? Kusut gitu mukanya, kayak kaset rusak.”

Aku mengembuskan napas kasar. “Lo lihat Mario, gak?”

“Dia udah pulang, kenapa emangnya?”

“Pesenin gue gojek dong, batre gue habis. Tempat tujuannya kerumah Mario ya.” Mereka mengangguk, di dalam pandangannya gak terlihat tanda-tanda curiga atau penasaran. Aku bersyukur sih, mereka berdua berbeda dengan Rano dan Raisa yang selalu mendukung Mario tanpa mengerti perasaanku yang sesungguhnya. Mereka berdua selalu saja menganggap Mario yang tersakiti, bukan sebaliknya.

“Lima menit lagi sampe, Al. Motor beat warna item, namanya Jajang. Btw, mau kita tungguin gak?”

“Gak usah, kalian pulang aja.”

“Oke.” Setelah Luna mengacungkan jarinya yang membentuk ‘ok’ cepat-cepat aku menyuruh mereka pulang.

Dan tak lama, mang gojeknya datang. “Luna, ya?” katanya.

“Mas Jajang?” tanyaku balik. Dia mengangguk sambil memberikan helm batok ke arahku.

“Saya Alera, mas. Tadi yang pesan memang Luna, teman saya, saya yang suruh dia untuk pesan gojek.” Mang gojeknya mengangguk. Langsung menancapkan gasnya setelah aku naik ke atas motornya.

Tak butuh waktu lama, aku sampai di depan rumah Mario.

Aku merasa gak enak hati saat melihat keadaan rumah Mario yang nampak sepi. Tapi aku tetap harus memastikan terlebih dahulu, berharap kalau Mario ada di rumah.

“Permisi..”

Aku menekan bel yang menempel di dinding sambil berteriak tapi tetap sopan. Dan keluarlah mba Susi, asisten rumah tangga Mario. “Eh, non Alera?”

“Mario-nya ada, mba?” tanyaku tanpa basa-basi yang bisa bikin percakapan tambah panjang.

“Belum pulang, ada apa ya non? Kok kayaknya penting banget.”

“Belum pulang?” aku tersentak begitu tahu saat perasaan gak enakku benar-benar terjawab.

Mba Susi mengangguk kalem. “Ada pesan, non? Nanti biar saya sampein ke den Mario kalo udah pulang.”

“Gak usah, mba. Aku tunggu di dalam boleh.”

Mba Susi tertawa. “Boleh dong, non.”

Aku mengikuti mba Susi di belakang saat si mba-nya mempersilahkan aku duduk di ruang tamu. “Mau minum apa, non?”

“Teh manis aja.”

“Pake gula?”

“Iya dong, mba. Namanya juga kan teh manis, masa gak pake gula,”

Mba Susi ketawa cekikikan. “Pake es gak?”

“Boleh tuh, kayaknya seger.” Mba Susi mengangguk, lalu dia melangkah pergi ke dapur untuk mengambilkan pesananku tadi.

“Alera?”

Seseorang yang ditunggu-tunggu akhirnya datang dengan muka yang masih lebam.

.
[ToBeContinue]
Maaf-maaf nih baru update.
Vomment-nya.

Je t'aimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang