SEMBILAN BELAS : Di Hukum

31 13 16
                                    

Anak nakal patut diacungi jempol, karena tanpa mereka guru bk tidak ada kerjaan.

-Je t'aime-
.

DENGAN kecepatan kilat Darrell dan Ilham berlari ke arah kantin saat kedua temannya memberitahu bahwa pelajarannya telah usai. Darrell melarikan diri dari hukuman bu Siti karena menurutnya lari tujuh putaran gak membuat dirinya kapok atau tobat supaya mau mengerjakan tugas. Sedangkan Ilham sengaja bolos karena bosan belajar di kelas, padahal otaknya pas-pasan.

Napas kedua cowok itu ngos-ngosan, mereka merasa aman karena kini sudah berada di kantin yang dipenuhi manusia-manusia lapar setelah belajar di kelas. Lalu langkah keduanya terhenti saat seseorang memanggil salah satu dari mereka.

"Gimana alpukatnya banyak gak?" tanya Tito yang sudah siap sedia menjual hasil panen mereka.

"Lumayan, lo berdua udah beli temen si alpukat?" Alis tebal punya Ilham naik turun. Teman si alpukat seperti gula, susu coklat-putih atau greentea dan sendok.

"Udah, mana sini alpukatnya.. pelanggan setia kita udah pada kumpul." Sekarang giliran Rendi yang mengambil alih kantong keresek yang dipegang Darrel, sang ketua.

Mereka gak perlu teriak-teriak memanggil para pelanggan yang mau membeli alpukat, karena para pelanggan akan berdatangan dengan sendirinya.

"Gue pesen empat ya."

"Gue juga dong, anterin ke kelas ya." Rendi mengacungkan jempolnya tanda 'oke laksanakan'.

"Gue beli dua aja deh, tapi gak mau pake susu, pake greentea ada gak?" Cewek itu menyodorkan uang ke hadapan Rendi.

"Gak ada. Jadi beli gak nih?"

Ada rasa kecewa yang terpancar di wajahnya. "Ya udah deh, gak apa-apa pake susu aja."

"Lo kan udah punya, ngapain pake susu lagi sih."

Semua memandang Tito.

"Ih nakal, gak boleh ngeres ah. Diajarin siapa sih?" tanya Rendi sok jaim, jaga iman.

Tito memukul kepala Rendi keras. "Kan lo yang ngajarin, pea!"

Rendi terkekeh. "Oh iya, lupa."

"Alhamdulillah, habis." kata Ilham begitu melihat kantong keresek yang kosong.

Tak butuh waktu lama, dagangan mereka laris habis. Tapi ada yang menyita pikiran mereka saat semuanya menghitung penghasilan yang didapat. Suara sepatu berasal dari sebelah barat.

Entah mengapa membuat mereka berhenti bergerak seakan ada polisi yang menyuruh mereka untuk diam di tempat.

Dan benar saja, di balik tubuh mereka muncul bu Siti. Guru itu membawa tongkat panjang yang dia gunakan untuk memukul pantat siswanya yang tidak menuruti perintahnya dan bibirnya yang pucat pasi sibuk berkomat-kamit seperti mbah dukun.

"Ibu dari tadi muter-muter cari kamu, ternyata disini, Darrell." Bu Siti sengaja mengagetkan mereka, terbukti sekarang ke-empat cowok itu langsung menghindar dan menoleh ke arah bu Siti secara bersamaan.

"Sampe monyet bisa tari jaipong juga gak bakal ketemu kalo ibu cari Darrell cuma muter-muter doang." celetuk Ilham yang langsung diberi pelototan tajam dari bu Siti.

"Kamu gak kapok-kapok ya, Darrell. Sudah membuat pak Supratman masuk rumah sakit, sekarang malah kabur dari hukuman saya, mau kamu apa sih?!"

"Mau saya dia, bu." kata Darrell sekenanya sambil melipat tangannya di dada. Tampang wajahnya sama sekali gak memperlihatkan jika cowok itu takut dengan kemarahannya bu Siti. Dia terlihat santai kayak di pantai.

Ketiga temannya tertawa terbahal-bahak, entah apa yang membuat mereka tertawa. Padahal ucapan Darrell tadi mewakili isi hatinya yang belum tersampaikan untuk seseorang yang dia kagumi dalam diam, yang dia kasihani dalam senyum, yang membuat dia tersadar akan arti perjuangan sesungguhnya.

"Aduh Darrell, ibu angkat tangan deh kalo kamu gak nurut sama ibu terus." Bu Siti pasrah. "sepertinya ibu harus menyuruh pak Bejo untuk menghukum kamu, ibu serahin semuanya ke pak Bejo aja."

"Anak nakal patut diacungi jempol, loh bu, karena tanpa mereka guru bk tidak ada kerjaan."

Bu Siti geleng-geleng sudah tak tahan menghadapi Darrell yang susah diatur. "Terserah kamu saja, ibu capek." Guru itu akhirnya pergi meninggalkan kantin setelah menelpon pak Bejo supaya menghukum Darrell.

Ya. Hari ini Darrell berakhir dengan pak Bejo. Dia disuruh mengepel lantai koridor yang panjangnya sepanjang jalan kenanga. Hukuman itu gak masalah untuk Darrell dibandingkan harus lari tujuh putaran di bawah terik matahari yang menyengat. Kenapa setiap murid harus kena hukuman kalau melanggar peraturan, padahal bagi Darrell dihukum atau gak dihukum tidak membuat dirinya kapok. Justru dengan adanya hukuman bikin Darrell semakin berani untuk melakukan pelanggaran sekolah.

Pak Bejo masih mengawasi Darrell dari kejauhan, padahal Darrell sendiri gak ada niatan untuk kabur lagi dari hukuman ini.

"Abang.."

"Abang Darrell.." seru Mia sewaktu Darrell melewati kelas adiknya.

Cowok itu berhenti dan mengernyit saat menoleh ke samping. "Mia," dia bergegas menepi untuk menghampiri adiknya yang berdiri di ambang pintu.

"Kamu kok seneng banget sih diam di ambang pintu, nanti susah jodoh loh."

Mia melambaikan tangan. "Gak usah banyak omong deh bang, sini."

"Abang pasti capek, kan?"

Mia pun menyodorkan botol minumnya pada Darrell. "Ini minum bang.."

Darrell nyengir kuda. "Makasih ya, adikku tersayang.. tau banget deh kalo abangnya kehausan gini."

"Abang kenapa lagi sih dihukum?" kata Mia sebal pada abangnya yang sedang meneguk air.

Mia membuat suara semacam suara cicak sambil menggeleng. "Kapan tobatnya sih, bang?"

Darrell mengerang lega kemudian menyerahkan botol minum adiknya yang habis tak bersisa kepada Mia. "Lupa ngerjain PR, dek." Darrell menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.

"Terus yang abang inget apa sih? Masa setiap dikasih tugas selalu lupa." Mia mengulurkan tangan dan mencoba merapihkan rambut abangnya yang berantakan. "ini juga, rambut lepek. Lupa keramas juga?"

Darrell terkekeh palan. "Samponya abis, dek. Malas beli."

Mia mengernyit. "Bukannya Mia baru beliin kemarin? Masa udah habis lagi?"

"Samponya tumpah dek,"

Kernyitan di dahi Mia seolah bertanya, kok bisa?

Darrell yang sudah hapal setiap gerak-gerik Mia tanpa suara, dia melanjutkan ucapannya dengan senyuman. "Samponya kan tumpah, karena sayang kalo dibuang gitu aja jadi abang bersihin lantai kamar mandi pake sampo. He he he."

Mia mengembuskan napas kasar. "Ish, dasar ya."

Karena Mia kesal dengan perbuatannya, Darrell pun berniat untuk kembali melakukan hukumannya lagi. "Abang mau lanjut jadi bibi dulu ya, masih kotor lantainya."

Kepala Mia terangguk sementara tampang kesalnya masih terlihat jelas. "Ya udah, Mia juga mau menghapal."

"Belajar yang pintar ya, dek." Tangan Darrell terulur hinggap di bahunya.

Mia menepis. "Seharusnya perkataan itu buat abang, bukan buat Mia." Lalu cewek itu masuk ke dalam kelas setelah menghentakkan kakinya ke lantai. Darrell hanya tersenyum tanpa bersuara lagi.

.
[ToBeContinue]
Vote dan komen.
Maaf baru update lagi, pada nunggu gak sih?

Je t'aimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang