TIGA BELAS : Sayang Mario

60 22 7
                                    

Katanya, mencintai seseorang harus berani melepaskannya.

-Je’t-aime-
.

NON Alera, ada den Mario..” bi Inah nongol di balik tubuh ayah.

“Om, Bi..” Ternyata yang diomongin ada di belakang bi Inah. Mario sudah merasa di rumah sendiri. Sudah biasa langsung ke ruang makan tanpa harus dipersilahkan. Masih pukul enam. Padahal aku baru duduk, mau sarapan.

Ayah dan Bion tersenyum singkat.

“Ayo makan, Yo. Bi Inah masak nasi goreng spesial.” Ayah menarik kursi kosong di sebelahnya.

Mario mengangguk sopan. “Engga usah om, makasih. Saya mau jemput Alera.”

Bion menatap Mario. “Pagi banget, mau bantuin mang Kal di sekolah?” katanya sinis.

Mario terkekeh pelan, aku tahu sebenarnya Mario sedikit kesal dengan ucapan yang baru saja Bion lontarkan. “Bercanda aja lo, Bi.. Al-“ Mario memberi kode supaya aku menghampiri dia.

Aku mendorong kursiku ke belakang. Kadang aku pengen banget bilang sama Mario untuk bisa lebih mengerti kondisi.

Mario menarik tanganku ke arah pintu depan.

“Kok jemputnya pagi banget sih Yo?”

“Lo ngerasa keganggu dengan kehadiran gue di tengah-tengah kalian, kok lo berubah sih?”

Aku diam. Kok Mario tuduh aku berubah sih? Padahal dia sendiri yang berubah, mulai dari sikapnya, cara dia berbicara, semuanya sudah berubah, dia bukan Mario yang aku kenal dulu lagi.

“Mulai hari ini dan selanjutnya, gue bakalan jemput lo jam enam.”

“Kok gitu?”

“Kali ini lo harus ngertiin gue, Al. Selesai antar lo ke sekolah, gue harus jemput Gitta juga.” Dua tangan Mario hinggap di bahuku.

Aku menepis. “Kenapa harus gue yang lo antar duluan? Lagian kalo gue datang sepagi ini, orang-orang belum pada datang, Yo.”

“Ya karena Gitta takut sendirian, gue gak mau dia kenapa-kenapa.”

Aku menatap Mario. “Jadi sekarang lo lebih mementingkan Gitta?”

Ekspresi Mario berubah. “Udah gue bilang kan, Al. Lo ngertiin gue dong.. Gitta pacar gue, sedangkan lo cuma sahabat.”

Aduh! Mario gak peka, gak akan pernah. “Ya udah, lo bisa pulang.”

“Jadi lo gak menghargai gue yang rela-relain datang sepagi ini untuk jemput lo.”

“Gue gak nyuruh lo untuk jemput gue sepagi ini, Yo.”

Mario mengacak rambutnya frustasi. “Ya terus apa namanya kalo gak menghargai, ngusir?”

Aku gak tega lihat Mario seperti ini dan pada akhirnya aku mengalah. “Ya udah, kita berangkat sekarang.”

Aku melangkah ke ruang makan untuk pamit sama ayah, sekalian mengambil tas. “Yah, aku pergi sekarang ya.”

Alis tebal ayah berkerut. “Gak sarapan dulu?”

“Kebetulan mama masakin bekal untuk Alera, om. Jadi setiba di sekolah nanti, Alera bisa sarapan.”

Muka ayah dan Bion kelihatan aneh. Tapi akhirnya ayah mengangguk juga. “Ya udah, hati-hati ya.”

...

“Mama masakin ayam goreng untuk lo.” Mario menyodorkan tempat makan warna pink ke hadapanku. “Oh ya, sepulang nonton kemarin Gitta mampir ke rumah.” Mata Mario berbinar.

“Terus?”

“Ternyata Gitta orangnya cepet akrab loh, Al. Gue jadi makin cinta deh sama dia.”

Perasaanku mulai campur aduk, antara senang dan sedih. Aku gak bisa menjawab ceritanya Mario karena aku bingung harus menjawab apa, lagipula selama ini Mario cerita tentang Gitta responsku hanya senyum. Gak ada yang lain.

“Al?”

“Hm?”

“Liat deh, bagus gak?” Cowok itu menyodorkan kotak beludru pink berbentuk segi lima. Aku mengangguk, “Lo suka?” tanyanya.

“Suka, Yo.”

Mario menghela napas lega. “Kalo lo suka, berarti Gitta juga suka dong, ya?”

“Hah?” aku kaget. Kukira Mario akan memberikan kejutan padaku, ternyata untuk Gitta.

“Ini buat Gitta, dia besok ulang tahun. Gue gak sabar deh, liat ekspresi Gitta nanti.” Mario mulai mengkhayal. “gue titip hadiah buat Gitta di elo ya. Gue cuma gak mau hadiahnya rusak. Mau kan, Al?”

“Ya udah, sini.”

Mario tersenyum lebar. “Makasih ya, Al.”

Aku balas senyum sambil melepas kepergian Mario, cowok yang sudah membuat aku merasakan apa pentingnya berjuang.

“Alera?”

“Eh, lo Kal? Kok tumben datang pagi?” tanyaku saat mengetahui Haikal yang menyapaku.

“Pengen aja, lo sendiri tumben datang pagi?”

“Oh, itu, mulai hari ini dan selanjutnya gue bakalan datang pagi karena Mario gak bisa antar gue kayak biasa.”

Mata Haikal menyipit. “Datang sepagi ini, demi diantar Mario?”

“Iya, Kal. Emang kenapa?”

Haikal memandang aku yang berdiri di sampingnya. Seakan sudah mengetahui isi hatiku yang sesungguhnya, dia menuntunku untuk duduk di kursi pos. “Sekarang gue tau alasan lo, nolak gue waktu itu.”

Aku gak menjawab sambil memilih menatap ke arah lain, ke arah mang Kal yang sedang menyapu daun-daun yang gugur. “Gue emang gak ahli dalam hal menyembunyikan perasaan pada orang lain, dan akhirnya orang-orang yang ada di sekitar menyadarinya, kalo gue ada rasa sama Mario.”

“Tapi cinta lo bertepuk sebelah tangan, Al. Lo sadar itu, kan?”

“Gue sadar, Kal. Tapi gue gak bisa menghilangkan rasa cinta gue ke Mario.”

“Kalo lo mencintai seseorang, harus berani melepaskan juga.”

“Lo mikir apa sih, Al? Emangnya di dunia ini gak ada cowok lain selain Mario?”

Mataku semakin sayu. “Gue berusaha melupakan Mario, Kal. Tapi gue-“

Kepalaku menunduk saat merasakan air mata melintas di pipi. “Gue gak bisa, Kal. Gue sayang sama Mario, gue gak bisa melepaskan Mario gitu aja.” sambungku.

Haikal menarik napas sambil menggelengkan kepala. Kemudian cowok itu bangkit dan berlutut di hadapanku. “Jangan nangis Al, gue benci liat air mata lo.”

Tangan Haikal terulur menangkup bahuku. “Rasa cinta gue ke elo emang udah gak ada, tapi perhatian gue gak akan pernah hilang.”

Kemudian Haikal mendengus menemukan aku yang semakin murung. “Kayaknya lo harus ungkapin rasa suka lo ke Mario deh, Al. Siapa tau dengan begitu, hati lo bisa lebih lega.”

Aku beranikan diri untuk buka suara, meskipun suaranya terdengar terlalu lemah dan gemetar. “Bukan lebih lega, tapi lebih nyesek.”

“Terus harus gimana dong, Al? Gue gak bisa terus-terusan liat lo pasang topeng di depan Mario.”

“Gue gak pernah pasang topeng, Kal. Gue seneng liat Mario bahagia.”

Haikal menyentak bahuku. “Kenapa harus ada air mata kalo nyatanya lo bahagia liat Mario sama Gitta? Jangan bilang, lo nangis karena bahagia.”

Aku menoleh. Haikal ngomong lagi, “Al.. semua orang juga tau, kalo lo sakit hati dengan sikap Mario.”

Aku mengangkat bahu, mencoba melepaskan diri dari rangkulan Haikal. Jemariku menggenggam tali ransel dengan gemetar. “Gue masuk kelas ya, Kal.”

.
[ToBeContinue]
Vote dan komen.

Je t'aimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang