DUA PULUH DUA : Fight

31 7 5
                                    

Hanya karena aku bersamanya sepanjang waktu, bukan berarti kamu bisa menuduh yang tidak-tidak.

-Je t'aime-
.


GAK diangkat?”

Aku menggeleng. “Nomornya gak dikenal, fans mungkin.”

Darrell mengedikkan bahu. “Kamu mau nambah gak?”

“Gak deh Rell, semangkuk aja udah bikin aku kenyang apalagi nambah.”

Moodku yang kacau saat guru matpel menegurku karena melamun memikirkan Darrell, kenapa dia menolak pemberianku sukses diubah menjadi menyenangkan sama cowok itu. Aku agak heran sama sikapnya Darrell, kadang baik, kadang buruk. Entahlah, dia seperti bunglon.

Dia yang dingin berubah jadi hangat. Membuatku tertawa cekikikan, dan batuk-batuk karena geli atau kaget. Biarpun setiap detik, menit, sampai jam aku gak bisa gak mikirin Mario. Dia pasti kebingungan sendiri mencari keberadaanku sekarang, ditambah lagi saat aku pulang sekolah tadi aku gak pamitan dulu sama Mario. Aku hanya gak ingin menganggu cowok itu yang sibuk bercengkrama dengan kekasihnya yang terlihat bahagia saat didekatnya.

“Enak gak?”

Aku mengangguk. “Enak Rell, kapan-kapan gue ajak yang lain ngebakso disini.”

Mata Darrell menyipit. “Kamu ngomong apa sih?”

“Lo nanya baksonya, kan?”

“Ngelamun sih, orang saya ngomongin traktiran. Enak gak ditraktir sama saya?”

Aku diam, baru menyadari kalau Darrell tadi ngilang sebentar untuk membayar baksonya – bakan aku sendiri gak ingat untuk menanyakan harga baksonya. “Oh maaf,”

“Kamu ngantuk, ya?” tebaknya.

Memang ngantuk sih, dari kemarin aku gak bisa tidur nyenyak. “Akhir-akhir ini gue emang lagi gak bisa tidur nyenyak.”

“Kenapa? Ada masalah?”

Aku menggeleng. “Gak ada,” jawabku pendek dengan muka merah padam. “Pulang yuk, udah mendung nih.” Mengingat kata mendung, aku jadi teringat saat hujan waktu itu. Aku belum mengembalikan jaket punya Darrell, oh Tuhan, kenapa bisa lupa sih?! Mana sudah seminggu lebih lagi.

“Ya udah yuk, saya antar kamu pulang.”

Darrell menuruti permintaanku.

“Rell, jaket lo..” Baru saja Darrell melangkah, ucapanku membuat dia menoleh.

Darrell menatap jaketnya sekilas, lalu pandangan khawatir mulai terlihat di wajahnya. “Kenapa? Kamu kedinginan?”

Aku menggeleng. “Bukan, bukan, maksud gue jaket lo yang waktu itu gue pinjam belum dikembaliin. Gue lupa Rell, bener deh, gue bakalan kembaliin sekarang.”

Darrell melongo. Kok melongo sih?! “Gak apa-apa, simpan aja. Kalo sewaktu-waktu kamu kedinginan, kamu bisa pake jaket saya. Jaket saya mewakili pelukan saya yang gak bisa tersampaikan.” kata-kata Darrell bikin aku gak ngerti. Dia berbalik, melangkah menjauh dari tempatku.

Aku berpikir sebentar, lalu melangkah mengikuti Darrell yang sudah siap mengantarkan aku untuk pulang.

...

Je t'aimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang