TUJUH : Bertahan or Berhenti

94 33 10
                                    

Aku dan dia itu bagaikan smartphone dan chargernya. Tapi kemudian kamu datang sebagai powerbank.

-Je t'aime-
.

AKU membanting diri ke ranjang. Rasa sesak di dada seketika datang tanpa diundang, napasnya memburu seiring dengan hati yang tak tenang. Jemariku menyisir poni ke belakang. "Gue harus gimana, tuhan."

Alunan dering ponsel seolah mengalihkan, tapi aku membiarkan ponsel itu bordering. Aku bangkit dan menjauh. Tanganku menarik kursi belajar dengan gusar, meletakkan seluruh beban tubuhnya di benda itu. Napasnya yang memburu semakin menjadi saat dering di ponsel terus-terusan berbunyi tanpa mau berhenti.

Aku memejamkan mata sebentar.

Seharusnya dari awal aku gak dipertemukan dengan Mario, mungkin aku gak akan bimbang seperti sekarang. Ingatanku kembali pada masa orientasi siswa. Awalnya aku hanya terpesona saja pada Mario, tapi seiring berjalannya waktu cowok itu menonjolkan perhatian lebih untukku. Pertemuan pertama yang berkepanjangan, membuat hatiku memilih dia dan sulit melepaskannya.

Namun, saat aku mengetahui bahwa Mario memilih cewek lain, aku memutuskan untuk berhenti mencintainya. Dulu aku selalu masa bodo jika disakiti Mario, tapi sekarang sudah berbeda. Hatiku tersakiti karena nyatanya Mario lebih memilih adik kelas yang sekarang berstatus kekasihnya.

Aku terluka.

Adik kelas yang banyak diincar cowok-cowok di sekolah dan terasa begitu memalukan jika aku kalah tenar dengan dia.

Dia adalah Gitta Putri, orang yang dulu dan bahkan aku kagumi. Dia adalah Gitta, yang dengan seenaknya memiliki Mario yang selalu aku harapkan untuk menjadi kekasihku. Lima bulan berada di Singapura membuatku melewatkan berita-berita penting di sekolah, dan setelah aku pulang, aku terkaget-keget saat mengetahui jika Gitta berpacaran dengan Mario, gebetanku.

Dia adalah Gitta, yang kali ini berhasil membuatku benci padanya. Senyuman sinis punya Gitta seakan menertawakanku jika aku kalah dari dia.

Dering ponsel kembali menggema, tapi aku acuh. Aku tahu itu Mario, aku hanya gak ingin mendengar suara Mario lagi. Aku tenggelam dalam emosi yang berkecamuk di dada. Aku gak ingin lukaku semakin dalam.

Tapi aku belum sepenuhnya yakin kalau aku bisa menjauhi Mario. Harusnya cowok itu paham kalau sekarang dia sudah punya kekasih dan gak berhak untuk terus mengkhawatirkanku.

Dering ponsel berhenti sebentar dan detik berikutnya yang terdengar adalah suara gebrakan pintu, lalu muncul cowok berperawakan jangkung di ambang pintu. "Dering telpon lo mengganggu tidur gue. Kalo gak niat untuk mengangkatnya, lo bisa silent!"

Gak ingin orang lain terganggu dengan dering ponselku, jariku menggeser tombol hijau.

"Gue baru keluar kamar mandi, maaf baru angkat telepon lo."

Aku menarik napas dalam, membiarkan hembusan napas membawa pergi semua kebimbangan. Perlahan suara Bion menggema di telingaku, seolah menertawakanku yang begitu terlihat bimbang. Satu hal yang kusadari.. gak seharusnya aku membiarkan ponsel itu berdering terus-menerus.

"Kita.. yang gak pernah ditakdirkan untuk bersatu."

Apa kecintaannya terhadap Mario berlebihan? Aku berdecak dan memijat pelipis pelan. Tak lama, suara dehaman seseorang terdengar di seberang sana. Perlu beberapa detik untukku menyadarkan lamunan.

Je t'aimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang