LIMA BELAS : Pacar Luna

62 22 2
                                    

Kencan kok ditemani?


-Je t’aime-
.

SAAT mendengar suara bi Inah dari balik pintu kalau di bawah ada Luna, aku langsung turun ke lantai dasar.

Luna meminta aku untuk menemaninya kencan bersama Adit.. Gila kan? Kencan kok ditemenin. Sebenarnya sih dia maunya Raisa juga ikut. Tapi katanya dia sudah ada janji dengan adiknya untuk pergi ke mall. Jadilah cuma aku sendiri yang menemani Luna.

Kata Luna, dia lagi ada masalah sama Adit gara-gara Ilham mantan Luna.

Janjiannya di Warung Steak. Sekarang aku duduk bersama Luna menunggu Adit yang belum datang. “Ingat ya, Al, kalo ditanya Adit kenapa lo ikut gue bilangnya kita ketemuan di pinggir jalan.” Luna wanti-wanti, biar Adit gak curiga.

Aku melirik Luna kesal. Memang aku Raisa yang pelupa dengan ucapannya begitu saja. “Iya Luna, bawel banget sih.” Untuk kesekian kalinya aku membalas celotehannya Luna yang berulang-ulang.

“Kebiasaan orang indo nih, ngaret.. gue udah ngantuk nih.” protesku menahan kantuk yang tak tertahankan. Dari tadi aku sudah menguap beberapa kali sampai mataku berair.

Luna celingukan. Lalu menunjuk sepasang kekasih yang bermesraan. “Ck. Biasanya juga begadang jagain lilin.”

Aku terkekeh pelan. “Lo yang ngider kan, Lu.”

“Gue udah pensiun. Udah banyak duit, jadi miliader.”

Aku diam. Bercandaannya gak menarik bikin aku semakin ngantuk. Aku manyun, lama banget.

Setelah dua puluh menit, akhirnya Adit datang. Cowok itu berpakaian rapih, pake kemeja hitam dipadukan dengan celana putih lengkap dengan sepatu pantopel yang kelihatan baru di semir. Kinclong. Kegantengan Adit melebihi Mario dan pastinya Adit cowok yang peka.

Adit mengecup pipi kanan-kiri Luna yang kelihatan sumringah begitu melihat Adit berdiri di sampingnya. “Sori ya telat.. tadi di jalan macet banget, ada yang kecelakaan gitu. Eh ada-“

“Alera..” potongku sambil senyum kepaksa sambil mengulurkan tangan.  

Adit mengingat-ngingat. “Oh Alera. Mukanya agak mirip sama Raisa, sori ya.”

Aku ketawa kecil basa-basi, tapi dalam hati mengumpat. Mirip dari mana? Raisa matanya besar sedangkan aku sipit, ngaco nih Adit. Mentang-mentang jarang ketemu.

“Masa sih mirip? Tapi lebih cantik gue, kan. He he he.”

Luna menyikut lenganku pelan, ketawa garing. “Langsung pesen makan aja ya? Laper banget nih, kamu aja yang pesen, Dit. Ini kan tempat favorit kamu disini, berarti kamu lebih tau menu yang enak disini apa. Lo mau pesen apa, Al?” Jari Luna diacungkan ke udara, mengingat sesuatu. “Oh iya.. tadi aku ketemu Alera di pinggir jalan, sendirian, jadi aku sekalian aja ajak dia kesini.” repet Luna padahal Adit gak nanya.

“Gue ngikut lo aja deh, Lu.”

Akhirnya Adit yang pesen.

“Kamu udah gak marah?” tanya Luna hati-hati. Tampang Adit yang sama sekali gak kelihatan marah itu membuat aku gak percaya kalau cowok itu cemburu dengan sikap Ilham yang berlebihan terhadap mantan kekasihnya. Aku tahu kalau Adit itu orangnya gak gampang cemburu, tapi setelah mendengar cerita Luna tadi siang di sekolah bikin aku percaya kalau nyatanya Adit diam-diam cemburu sama sikap Luna pada Ilham.

Meskipun Luna sudah menjelaskan pada Adit kalau hubungan sama mantannya cuma untuk menjaga komunikasi yang baik. Aku tahu Luna, dia cewek yang gak mau dicap jelek oleh para mantannya termasuk Ilham.

Aku tahu ini cuma salah paham dan mungkin Adit sudah memaafkan Luna karena dia cowok yang dewasa. Dia gak mau kesalahpahamannya berkelanjutan, dia sayang sama Luna dan pastinya gak mau kehilangan Luna.

Jemari Adit menangkap tangan Luna. “Jangan dibahas sekarang ya, Lu.” Sekarang aku percaya kalau Adit sebenarnya masih marah sama Luna, cuma dia gak mau memperlihatkannya. Mungkin takut mengganggu kencannya sama Luna.

Aku meringis melihat muka Luna yang berubah, aku tahu kalau Luna pengen menjelaskan lebih detail lagi pada Adit, tapi sekarang bukan waktunya untuk membicarakan masalah itu. Sekarang waktunya makan, karena pelayan dengan baju putih hitam dengan dasi kupu-kupu sudah datang dengan membawa berbagai makanan yang menggiurkan.

“Lu?”

“Hm?”

“Empuk gak?” tanya Adit lagi.

Luna mengangguk. “Sofa di WS emang empuk, Dit. Gue nyaman duduk disini.”

Mata Adit menyipit. “Kamu ngomong apa sih, Lu?”

“Ngomongin sofa, kan?” tanya Luna ragu-ragu.

“Ngelamun sih, orang lagi ngomongin steak. Mikirin apa sih? Ilham?!”

Nafsu makan Luna langsung hilang dalam sekejap. “Apaan sih kamu, katanya gak usah ngebahas dia.”

Adit tersenyum masam. “Ya itu, kamu ngelamun mikirin Ilham, kan? Gak biasanya ngelamun saat posisi kamu lagi bareng sama aku? Kamu masih suka sama Ilham?”

Luna melongo. “Kamu-“ dia melepaskan garpu sebelum akhirnya berbicara lagi. “Adit.. kok kamu nanya gitu sih?”

“Ya sebel aja. Ngerusak suasana tau gak. Kamu kayak gak nikmatin kencan sama aku. Kamu gak menghargai aku yang naik ojek karena gak pengen datang terlambat. Sekarang kamu malah ngelamun gak tau pikirannya kemana. Kamu berhasil ngecewain aku, Lu.”

Sedangkan aku merasa gak enak diam di tengah-tengah mereka, kuputuskan untuk pergi ke toilet. Aku pikir mereka harus membicarakan masalahnya empat mata.

Aku mendorong kursi ke belakang. “Gue ke-“

Luna menarik tanganku, dia berbisik. “Jangan kemana-mana, Al. Diam disini.”

Aku mendesah pelan, mau gak mau harus menuruti perintah Luna.

Rupanya perintah Luna padaku mengundang tatapan sinis Adit ke arahku. Dengan kecepatan kilat, Luna meraih tangan Adit di seberang meja. “Dit, gak gitu. Aku cuma mikirin topik pembicaraan kita sekarang harus gimana. Kamu tau kan, kalo aku lagi mikir keliatannya kayak ngelamun.

Adit membuang napas dan menarik tangannya dari genggaman Luna. “Ah, kamu bisa banget deh mengalihkan pembicaraan dari aku. Bohong. Kamu udah berani ngebohong sama aku kalo hubungan kamu sama Ilham cuma ingin menjaga komunikasi aja.”

“Kenapa sih kamu cemburu? Aku sama Ilham udah gak ada rasa.”

TRANG! Adit membanting pisau dan garpunya kasar. “Udah deh, Lu, gak usah bohong kalo masih ada rasa bilang aja, gak usah sok-sokan. Aku capek Lu, kalo harus pura-pura gak cemburu sama kamu.” Adit beranjak dari kursi dan berbalik pergi setelah meninggalkan beberapa lembar uang di atas meja,

Tubuh Luna gemetar, bahunya naik turun dan isakan tangis mulai terdengar saat cowok itu menghilang di balik pintu.


.
[ToBeContinue]
Vote dan komen.

Je t'aimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang