DUA PULUH TIGA : Dia Darrell

50 5 11
                                    

Lebih baik saya yang tersakiti dari pada melihatmu terluka dan menangis.

-Je t’aime-
.

JANTUNG aku gak bisa berhenti berdegup kencang. Hari ini mungkin bisa dinobatkan menjadi hari paling menegangkan sepanjang hidupku.

Hampir setiap detik aku menepuk-nepuk dadaku yang terasa sesak. Berkali-kali juga aku minum air di botol dan tak henti-hentinya berpikir cara untuk meminta maaf pada Mario, itu pesan ayah sebelum aku berangkat sekolah. Biasanya, aku gak akan sebingung ini. Tapi kenapa hari ini rasanya beda? Aku gak merasa bersalah kenapa harus aku yang meminta maaf?

“Gue minta maaf sama Mario, setelah itu gue harus jauhin Mario.”

Aku mengangguk-anggukan kepala, keputusan yang mendesak tapi harus segera dilakukan. Aku harus bisa seperti Raisa yang dengan mudahnya melupakan seseorang.

“Al!” aku mendongak, melihat Luna dan Raisa memanggilku bersamaan. Mereka melangkah masuk terburu-buru dengan wajahnya yang terlihat penasaran ingin bertanya sesuatu.

“Kalian kenapa?” tanyaku. “Kalian berdua udah lihat kondisi muka Mario yang babak belur?” sambungku hati-hati dan mereka mengangguk.

Luna dan Raisa mengambil kursi gusar, lalu duduk di hadapanku. Melihat aku yang siap-siap mau bercerita panjang lebar, mereka pasang telinga, mereka bisa menyimpulkan kalau cerita ini harus mereka ketahui langsung dari aku, bukan dari Mario, apalagi Darrell.

“Gara-gara apa sih? Kok bisa sampe gitu?” Luna menopang dagunya diatas meja. “Gue penasaran denger cerita dari lo, Al.” Lagi-lagi Luna gak sabar ingin aku bercerita secepatnya, tapi aku terlalu ragu untuk bercerita pada mereka. Mereka berdua yang selalu berbeda pendapat mengenai Darrell, si preman itu.

“Kalian harus tau, kalo kejadian yang menimpa Mario bukan kesalahan Darrell.” Sekarang aku bisa bernapas lega karena sudah memberitahu inti cerita kemarin malam tanpa suara bergetar atau emosi.

“Terus salah Mario?” tanya Raisa kebingungan melihat tampangku yang seakan gak terima kalau orang-orang diluar tengah ramai membicarakan Darrell. “Oke. Sekarang gue bisa menyimpulkan kalo lo ada hati sama si preman.”

Aku terbelalak. “Bukan gitu, Sa.”

Luna menoyor kepala Raisa pelan. “Lo kok nyolot banget sih, dari tadi?”

“Emang gitu faktanya, kan? Alera ada hati sama si preman, makanya dia cerita kalo kejadian kemarin malam yang mengakibatkan muka Mario rusak itu bukan salah Darrell. Itu intinya Alera gak terima kalo Darrell disalahin.”

“Hm.” Luna berdeham. “Kemakan gosip lo! Lo lebih percaya sama korbannya, dibandingkan percaya dengan saksi matanya.”

“Emang Mario udah cerita apa aja?”

Luna menggeleng-geleng gak percaya. “Dia ngehasut cewek-cewek untuk jauhin Darrell, katanya Darrell cowok yang berbahaya.”

Mendengar nama Darrell dituduh yang tidak-tidak, aku menyipitkan mata. Seperti ada rasa khawatir yang bergejolak di dada. Aku mengeluarkan ponsel dari saku seragamnya, siapa tahu ada pesan atau telepon dari Mario yang gak aku balas atau jawab.

“Mario gak biasanya kayak gini deh. Gue gak ngerti apa yang ada dipikirannya sampe tega tuduh Darrell yang engga-engga.”

“Mungkin dia cemburu sama lo.”

“Cemburu karena gue jalan sama Darrell? Gak mungkinlah, Lu. Mario cuma anggap gue sahabat, sampe kapan pun gue sama Mario gak akan bisa bersatu.”

“Terus karena apa? Gak mungkin, kan, Mario menuduh Darrell tanpa alasan?”

“Alera,”

Aku terlonjak, lalu berdiri dengan gusar. “Darrell? Lo baik-baik aja, kan?”

Je t'aimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang