Lapak baru banget loh. Mampir yuk?? 😁😁
◼◼◼
"Cewek yang baru saja bangun dari koma beberapa waktu yang lalu, apa kabarnya?"
"Yang korban tenggelam di sungai?"
"Yup."
"Membaik. Tapi tahu nggak, dia nggak ingat siapa namanya?"
Salah satu perawat menatap penuh keterkejutan, "Amnesia? Kok kayak sinetron sih?"
Apoteker yang sepertinya tahu banyak hal menyusulkan sebuah tawa. Kegiatan menggosipkan pasien malang itu terhenti sejenak, karena harus memanggil penebus obat dengan catatan resep di tangannya. Siapapun yang mendengar bagaimana dua apoteker ini fasih bergosip berharap tidak akan ada insiden sepele tapi berdampak besar—salah memberikan obat. Itu berbahaya.
Bima menukar kakinya untuk disimpan di atas paha. Matanya terus berpaku pada ponsel. Kelihatannya saja dia tidak peduli pada dunia sekitar, namun senyatanya dia menyimak dengan baik semua yang dua suster ini gosipkan. Bukan sengaja menguping, salahkan dua suster yang menggunakan suara cukup keras. Jadi seberapa banyak pun suara yang berkeliaran di sekitarnya, suara apoteker itu tetap akan tersaring masuk.
"Amnesia kan memang beneran ada di dunia nyata," jawab si apoteker yang duduk di depan meja kayu tinggi. "Cuma nggak selebay di sinetron-sinetron itu. Dan pasien yang cantik itu katanya menyebutkan beberapa ciri-ciri tempat juga orang. Cuma, dia nggak bisa mengingat secara pasti."
"Terus gimana? Kudengar, penanggung jawabnya tiba-tiba lepas tangan gitu?"
"Iya. Koma, Cin. Hampir sepuluh hari. Biayanya pastilah mahal. Dan yang kudengar penanggung jawabnya cuma pemulung yang nemuin dia di bantaran sungai. Mana bisa dia ikut tanggung jawab soal uang."
"Jadi?"
"Dia kayaknya orang kaya. Dia pakai kalung yang katanya berliontin berlian. Jarinya juga pakai cincin, meskipun tidak bermata berlian juga, tapi katanya itu emas mahal. Sama Dokter Vega, dua benda itu diuangkan untuk bayar biaya rumah sakitnya."
"Jadi sudah lunas, sekarang?"
"Dari yang kudengar sih, lunas. Masih ada sisa sedikit."
"Lalu, setelah dia sehat mau pergi ke mana? Nggak mungkin kan tinggal di sini terus. Ini rumah sakit bukan hotel."
"Entahlah." Si apoteker paling banyak tahu mengedikkan bahu. "Dia tidak ingat siapapun. Tidak ada juga dari pihak keluarga yang mencarinya."
"Kasihan, ya?"
"Kalau kasihan nyumbang sana, Er."
"Eh. Berempati aja nggak boleh ya?"
Si apoteker itu tertawa. Dari tempat di mana Bima duduk, dia bisa mendengar seberapa bercanda apoteker ini. Mata Bima berkeliling. Mencari kotak aduan atau apa saja untuk memungkinkan dia melaporkan ketidaknyamanan yang tengah ia dapat pada manajemen rumah sakit. Mendapat teguran, itu yang jadi harapan Bima untuk kedua apoteker ini.Dia sudah menunggu, memang belum lama, tapi tetap saja menyebalkan saat dua pelayan publik ini menyelainya dengan obrolan. Mana profesionalitasnya?
"Ibu Lani Prasadi?"
Mendengar nama sang ibu disebut, Bima lebih dulu membuang napas sebelum menegakkan punggung. Lega saja karena pada akhirnya dia bisa meninggalkan apotik ini sesegara mungkin. Telinganya terasa pengang. Benak yang biasa abai pada sekitar, tetiba tumbuh benih pendek bernama penasaran. Dan itu tidak baik.
Senyum Bima mahal. Dia hanya bermuka datar, saat menukar obat sang ibu dengan lembaran uang. Apoteker itu tersenyum. Entah untuk beban profesionalitas atau karena cukup tertarik dengan suguhan wajah Bima.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kotak Memori
General FictionBima membuat kesalahan. Mencuri dengar obrolan orang lain, lantas jatuh hati pada kedipan pertama. Bima membuat lebih banyak kesalahan. Membawa gadis itu masuk lebih dalam, bukan alih-alih mengangkat kaki untuk menyelamatkan hati. Besar kemungkinan...