Ini kejutan utamanya.😂😂😂
Ngeditnya sambil ngantuk. Tandai saja, kalau ada typo atau kalimat yang sukar dimengerti yes.
⬛⬛⬛⬛
Ini bukan seperti yang pertama kali. Rasa tertolak kali ini, seperti bukan jadi rasa perkenalan untuk Arimbi. Dia seolah sudah paham kombinasi kesal, marah, kecewa, dan merasa terabaikan dari sebuah penolakan, sejak di kehidupan yang lalu. Kini, tak terlampau terkejut. Kini, tak seberapa membuatnya frustrasi.Tapi penolakan ini alih-alih telah menghantarkan Arimbi pada satu bayangan dengan tingkat kejelasan yang boleh jadi akan membuat Arimbi menganga. Bayangan yang menyuguhkan sajian raut kaku dari wajah lembut yang ia miliki, dengan sangat jelas. Sajian urat-urat biru yang tercetak di balik kulit, penanda betapa banyak emosi yang terkubur.
Arimbi seolah tengah diajak pulang. Dalam pekatnya malam, dalam dinginnya angin yang berlarian ke sana ke mari. Arimbi bukan lagi sebatas melihat. Tak seperti bayangan ciuman yang lalu, kali ini ia seperti merasakannya sendiri. Semua terasa sangat nyata.
Dia menghempaskan pintu mobil yang ia kendarai dengan sangat tidak anggun. Saking kerasnya, ia merasakan jantungnya cukup terhenyak barang sedetik. Langkahnya terayun buru-buru. Dia mendorong pintu, bak preman yang hendak menagih pajak harian.
Rumah besar itu menyambutnya. Perabot-perabot mewah mungkin sedang menatapnya jengah. Seorang wanita paruh baya, terlihat masih berkutat di balik kabinet dapur. Senyumnya merekah indah, saat bersipandang dengannya.
Tapi Arimbi tak bisa tersenyum kali itu. Seberkas lembut yang wanita paruh baya itu lontar, tak cukup hebat untuk mencairkan gunungan amarah yang mendesaki benak. Arimbi tidak tersenyum kali itu. Alih-alih, ia pamerkan pancar permusuhan lalu suara dingin.
Wah, ini langka. Bayangan yang terkumpul selama ini tak lebih dari potongan potongan gambar tanpa suara. Kali ini menakjubkan. Arimbi dari masa lalu kini bersuara lantang, tergambar runtut. Entah, Tuhan sedang ingin memamerkan kebenaran yang mana?
"Mana Ayah?" tanyanya. Jelas itu suara Arimbi.
Wanita paruh baya itu masih bisa menarik dua ujung bibirnya dengan tulus. Menghadapi wajah Arimbi yang memuakkan itu, mungkin sudah jadi makanannya sehari-hari. "Anak Bunda kenapa lagi, hm?"
"Mana Ayah, Bun?"
"Di kamar. Kenapa sih?"
"Bunda dan Ayah yang kenapa?" balas Arimbi tak tahu diri. "Kenapa Bunda dan Ayah tidak suka melihat aku bahagia? Kenapa?"
Detik berikutnya, wanita paruh baya itu terhenyak. Dia mematung, sendok teh dalam genggamannya terjatuh membentur lantai. Arimbi tak melakukan apapun selain berpaling. Langkahnya berubah menjadi lari kecil saat menapaki tangga nan megah. Sekali lagi, dia mendorong sebilah pintu.
"Dai?"
Dai? Itu nama Arimbi yang sebenarnya? Entahlah, pria paruh baya itu hanya menyapanya dengan sepenggal kata itu. Dengan senyum merekah, seolah tak sedang terjadi apapun di antara mereka.
"Ayah kenapa sebenarnya?"
"Hah?" gumam pria paruh baya itu dengan bingung. "Ayah kenapa, Dai?"
"Nggak usah pura-pura nggak ngerti," balas Arimbi dari masa lalu dengan sebuah teriakan. Arimbi yang sekarang alih-alih menitikkan air mata. Ia pernah sekurang ajar itu? Sungguh, dia pernah sedurhaka itu? "Ayah datangin pacarku, kan. Minta dia ninggalin aku kan? Kenapa Ayah? Kenapa Ayah nggak suka kalau aku bahagia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kotak Memori
Fiksi UmumBima membuat kesalahan. Mencuri dengar obrolan orang lain, lantas jatuh hati pada kedipan pertama. Bima membuat lebih banyak kesalahan. Membawa gadis itu masuk lebih dalam, bukan alih-alih mengangkat kaki untuk menyelamatkan hati. Besar kemungkinan...