22 | Beban Hati

9.3K 1.7K 140
                                    

Sehat dan hati-hati selalu ya teman-teman. Allah menyertai kita semua.

***

Kehilangan memori sebab sebuah kecelakaan rasanya lebih mudah bagi kesehatan mental Arimbi. Setidaknya ia tak perlu bertanya-tanya tentang hal lain. Sepenuh hati ia meyakini ia terluka sebab kesalahannya sendiri. Ia terluka sebab emosi yang membakar akal sehatnya sendiri. Ia terluka, tanpa meninggalkan pertanyaan yang menyeruak.

Berbeda dengan yang terjadi sekarang. Ada beberapa hal yang ia ingat, dan kemudian dibenarkan oleh Ayah. Ada hal yang ia duga, namun dimentalkan begitu saja oleh kenyataan yang Ayah rujuk.

Ia tidak kecelakaan. Malam itu ia memang membawa lari si merah dengan kecepatan tinggi, tapi tidak ada kecelakaan. Semuanya utuh. Semuanya baik-baik saja, selain dirinya yang tiba-tiba menghilang tanpa meninggalkan kabar.

Ini yang jadi pertanyaan besar sekarang. Mengganjal hati Arimbi. Menghancurkan suasana hati penuh semangat yang susah payah ia bangun.

"Dai?" Bunda masuk tanpa mengetuk. Ia menghampiri Arimbi yang tengah bergelung di atas ranjangnya. "Kenapa? Pusing kah?" tanyanya, tentu saja dengan pendar mata penuh khawatir.

Satu kenyataan yang justru memperbanyak beban di hati Arimbi. Ia baru mengurung diri di kamar kurang dari empat jam, tapi Bunda sudah sebegitu gelisah pada keadannya. Lalu, bagaimana hari-hari Bunda kemarin tatkala ia tak ada?

Pasti Bunda benar-benar menderita. Pasti Arimbi meninggalkan banyak sekali kesulitan untuk wanita ini.

Arimbi menggeleng sambil tersenyum, "Dikit, Bun. Semalam aku terlalu kangen sama kamar ini, sampe-sampe susah tidur saking sibuknya ngecekin barangku satu per satu."

"Jangan bohong. Ke dokter ya? Biar Ayah sama Bunda yang ngantar?"

"Nggak usah, Bun. Ayah lagi kerja kan. Aku nggak apa-apa kok."

"Ah, Bunda nggak percaya. Pokoknya--"

"Seriusan, aku nggak apa-apa, Bun." Arimbi memotong, "atau gini deh. Kalau sampai sedikit pusingku ini nggak ilang sampai nanti malam, baru besok kita ke dokter. Gimana?"

"Periksa kok ditunda-tunda." Bunda sedikit mengomel, merasa tak setuju dengan gagasan yang putrinya beri. "Ya udah lah. Bunda bikinin jus ya? Tambah madu, supaya kamu punya tenaga lebih."

"Boleh. Makasih, Bun."

Bunda memandang Arimbi dalam, menghela napas banyak, lantas keluar dari kamar Arimbi setelahnya. Aura khawatir wanita setengah malaikat itu masih menguar di udara yang Arimbi hirup. Membuat gadis itu tersenyum sedih, sebab ingat kata-kata bernada keras apa saja yang pernah ia lontarkan untuk bundanya sendiri.

Jadi, banyak sekali perasaan yang mengganggu kesadaran Arimbi siang itu. Membuat ia seolah kelelahan meski hanya berbaring tanpa melakukan pekerjaan. Ia benar-benar hampir terlelap jika Bunda tak segera datang membawakan segelas jus buah bercampur sayur dan beberapa sendok madu. Sedikit rasa getar yang menyapa lidah Arimbi. Banyak syukur yang ia peroleh dari sorot kelegaan sang Bunda. Bunda juga tak mengajak Arimbi bercerita ataupun berdebat lagi. Wanita itu hanya meminta Arimbi untuk beristirahat, yang Arimbi angguki dengan mudah.

Ia memang mengantuk. Ia memang lelah. Lelah fisik, lagi lelah mental.

Maka entah berapa jam Arimbi habiskan untuk memejamkan mata. Ia tak memimpikan apapun, tidurnya benar-benar berkualitas. Saat terbangun, kebingungan yang Arimbi dera sebelumnya juga tak berkurang. Yang bisa Arimbi lakukan hanyalah menambah semangat. Yang bisa Arimbi lakukan hanya harus meyakini, bahwa seiring berjalannya waktu ingatan itu akan kembali. Dengan sendirinya, tak perlu Arimbi berusaha keras sedemikian rupa.

Kotak MemoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang