07 | Tekad Bulat

14.5K 2.3K 499
                                    

Selamat bermalam minggu bareng Bimbi. 😘😘😘

⬛⬛⬛⬛

Matahari belum muncul. Masih malas bangun dari peraduannya. Kendati begitu, Arimbi sudah membuka lebar dua mata. Memamerkan bola berwarna coklat, lalu diikuti sebuah sunggingan senyum manis. Dia merapatkan selimut pada leher, benar-benar tak bisa menahan hentakan bahagia yang mendiami sanubari.

"Terima kasih untuk kamar dan hidup barunya, Bima," ucap Arimbi pada udara pagi yang telah berbaik hati membangunkan.

Sungguh, tak berujung lagi rasa syukur Arimbi atas semua bantuan yang datang saat ia merasa tak memiliki apapun untuk bertahan hidup. Seolah teman, Mama, lalu nama belum cukup mengharukan, Bima masih murah hati dengan memberinya paviliun ini. Tidak besar memang, tidak pula mewah. Ini hanya kamar berbentuk bulat yang dihuni oleh sebuah ranjang dengan empat tiang juga berselimutkan kelambu warna biru pastel.

Merasa cukup dengan senyum ala gadis gilanya, Arimbi merenggangkan tubuh. Membawanya bersandar pada kepala ranjang selama beberapa detik, lantas diajak berayun pada dinginnya lantai. Arimbi menyibak kelambu, menggulungnya secantik saat ia datang. Bola mata Arimbi tampak senang berkeliling. Pada lukisan bunga yang tergantung, juga pada banyaknya jendela yang tertanam pada dinding. Seluk beluk paviliun bulat ini, mengingatkan ia pada kastil tinggi milik Rapunzel.

Mendahului kerjapan sang surya, senyum Arimbi lebih dulu kembali terbit. Pemandangan kamar ini, menghadirkan satu lagi bayangan dari masa lalu. Di mana seorang wanita cantik tengah tenggelam dalam dongeng untuk dua gadis kecil berwajah serupa.

Mungkin, itu Mama.

Atau, Bunda?

"Entahlah," Arimbi menyudahi kebingungannya. Mencapai kamar mandi, untuk membersihkan tubuhnya yang bekas berkeringat.

Lima belas menit kemudian, Arimbi sudah menutup kembali pintu paviliun putihnya. Menyeberangi taman kecil berumput hijau, Arimbi mengungkit pintu rumah utama milik Bima. Rumah masih dalam keadaan gelap, tapi sinar malu-malu dari sang surya sudah merambat masuk. Tidak sulit menemukan dapur. Kalaupun ada kesulitan yang menyilang di depan mata, maka itu hanya berupa tak banyaknya jenis bahan makanan yang tersimpan di dalam kulkas.

Belum juga yakin hendak mengolah apa, pertanyaan lain lebih dulu timbul, 'di masa lalu, aku bisa masak atau tidak? Dan setelah semua ini, aku masih bisa masak atau tidak?'

Semangat Arimbi menguap setengahnya. Ia menutup kembali pintu kulkas, lalu merosot hingga terduduk menekuk kaki. Ia memejamkan mata. Hendak mencari tahu seberapa hebatkah ia soal dapur. Alih-alih ingat, Arimbi justru hanya merasakan denyutan pada kepala. Tajam, ia mencengkal dua matanya lagi. Menolak untuk berusaha mencari ingatannya.

"Kemarin lusa aku kenalan dengan bulpen, lalu tanganku seolah menari dengan sendirinya. Jadi, mari kenalan dengan sayur, Arimbi. Ayo cari tahu, seberapa hebat tanganmu membuat keajaiban."

Monolog gadis itu pada diri sendiri. Ia bukan gila, ia hanya berusaha memercikkan semangat yang mulai membeku. Sekarang ini, ia hanya amnesia bukan disabilitas. Percaya dan yakini saja, semua hal bisa Arimbi lakukan jika didampingi keinginan kuat. Karena segala hal tidak mesti disimpan dalam kotak memori bernama otak. Ada beberapa hal yang melekat pada naluri. Dan jangan lupa, naluri tak akan pernah terhapus sekalipun otak sudah sakit.

Nyatanya tanya batin itu berhasil menghidupkan kembali batang semangat yang sebelumnya menunduk layu. Tubuh kecilnya sudah kembali tegak. Hawa dingin dari kulkas sudah menerpa wajah putihnya. Mata Arimbi hanya bersinggungan dengan semangkok sayap ayam juga beberapa wortel dan kembang kol. Arimbi seolah mendengar bisikan pelan, memberinya jawaban. Buat sop.

Kotak MemoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang