Makassar hujan terus. Tempat kalian gitu, ndg?
Belum kelar balasin komenan kalian, tapi udah ngantuk.
Satu lagi. Belum bisa nyeret bima ke part ini. Maafkan. 😁😁
***
Untuk bisa menikmati sebuah kegiatan, dengan tak mengikutsertakan seratus persen hati itu dua kali terasa lebih sulit. Setengah minat, membuat Arimbi duduk dengan tak seberapa nyaman. Setengah sadarnya diserahkan pada tempat lain, membuat ia harus berkali-kali menghela napas sejak tadi.
Padahal, bioskop tak sepengap itu. Tapi entah kenapa Arimbi dibuat risau, bak sedang dipenjara dalam bui-bui tanpa jeruji besi. Ia tidak betah, tapi tak punya keberanian untuk sekadar melarikan diri. Ia tidak tahan, tapi dua bibirnya seolah tak kuasa menyuarakan jerit hatinya.
Seperti layaknya tak ada asap jika tidak api. Seperti layaknya tak ada akibat tanpa eksistensi sebuah sebab. Arimbi tahu ini adalah sebuah konsekuensi untuk keberaniannya tetap menggenggam nama Orlan, meski hatinya masih diayunkan dalam pusaran ombak. Nyaman atau tidak, dia tetap harus bersikap seperti ini—semanis mungkin di depan kekasihnya. Suka atau tidak, dia tetap harus melakoni perannya sebagai kekasih—tampak antusias saat agenda kencan tengah berlangsung.
Mungkin sampai sekarang, ini tak lebih dari memaksakan diri. Untuk bisa tenggelam bersama Orlan, untuk membiasakan diri dengan hal-hal yang lalu. Tapi sedikit banyak berharap, proses memaksakan hati ini tak berlangsung lebih lama lagi. Ia harap memorinya kembali cepat, agar ia bisa merasakan senyaman apa dirinya berada di sisi Orlan. Supaya ia tak kelelahan demi sebuah kepura-puraan.
"Kebiasaanmu berubah ya?"
Arimbi menoleh pada Orlan. "Apa?"
"Kamu banyak diem. Nggak biasanya."
Gadis itu mengulum senyum tipis, yang entah pria itu bisa tangkap atau tidak. "Memangnya aku kalau nonton gini sering cerewet ya, Mas?"
"Iya. Daripada diem kalem gini, kamu lebih banyak protesnya sih. Semua aja adegan di situ, kamu komenin satu-satu."
"Berisik ya, aku?"
"Bisa dibilang begitu." Orlan tertawa, mengusap rambut Arimbi lembut. "Tapi berisikmu itu yang bikin agenda nonton itu jadi nggak seberapa ngebosenin buatku sih. Karena sebenarnya, aku bukan tipikal penggemar film. Aku hampir jarang banget nonton, kalau bukan kamu yang ngajak. Soalnya, aku nggak bisa menikmati sebuah rekayasa dengan mudah. Tapi karena komenanmu yang terus mancing-mancing, jadilah aku juga harus berusaha mengerti alur ini film.
"Karena, aku nggak pengen suaramu hilang gitu aja dibawa angin. Aku pengen ada timbal balik di antara kita. Kayak, aku harus jadi jawaban untuk setiap pertanyaanmu. Aku juga harus jadi gaung untuk setiap teriakanmu. Tapi di lain situasi, aku mungkin akan jadi sanggah untuk setiap pendapatmu. Intinya, aku nggak akan biarin kamu bicara sendiri. Aku ingin, suaramu selalu bersahutan dengan suaraku."
Bagian mana dari pria ini yang sangat sulit untuk dicintai? Ia memiliki cerita hidup yang tak remeh.Ia memiliki senyum yang tulus. Ia dianugrahi pribadi yang hangat. Dia seperti sudah direstui Tuhan untuk bersikap sehebat ini melambungkan hati. Seperti tidak dibuat-buat, cara Orlan berbicara terlalu manis untuk ukuran laki-laki.
Wajah Arimbi mendadak tiga kali lebih murung, "Aku banyak lupa."
"Nggak apa-apa. Nanti juga ingat lagi."
"Aku lupa kebiasaanku. Aku lupa banyak dari teman-temanku. Bahkan ... aku lupa tentang kamu. Tentang kita. Maaf, Mas, maaf."
Sebuah lingkupan hangat berhasil memenjara lima jemari Arimbi. Membuatnya terkubur dalam jalinan yang terasa tepat. Arimbi memandang tautan itu dengan ragu-ragu. Rasanya, tak bisa digambarkan. Ia merasa bersalah, merasa terkutuk. Hatinya tak keruan, tak jelas bagaimana wujudnya sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kotak Memori
General FictionBima membuat kesalahan. Mencuri dengar obrolan orang lain, lantas jatuh hati pada kedipan pertama. Bima membuat lebih banyak kesalahan. Membawa gadis itu masuk lebih dalam, bukan alih-alih mengangkat kaki untuk menyelamatkan hati. Besar kemungkinan...