15 | Ayo Bertamu

10.1K 1.8K 187
                                    

Tandai saja kalau ada typo ya.
Semoga ini masih bisa dinikmati.

⬛⬛⬛⬛

Hanya selang beberapa jam kemudian, jajaran nomor yang Bima simpan dengan nama 'Papa' berkedip-kedip memenuhi layar ponsel. Dering yang mengekor berikutnya, sukses membuat pria itu mengusap telinga dengan kesal. Kali itu, sepenuh hati dia berniat mengabaikan.

Dan gen tidak pernah memanipulasi sifat. Dipikir Bima jadi sekeras kepala ini berkat siapa? Pantas jika sekarang Agung tidak berhenti meski sudah diabaikan panggilan kedua dan ketiganya. Deringnya seolah terdengar makin mengeras. Bak mewakili kemarahan Papa yang kian meninggi di ujung sana.

Sekali lagi, Bima membiarkan ponselnya berteriak. Sekali lagi dia teringat akan kabar yang Nisa bawa pulang bersamaan dengan mengembalikan gadisnya dalam pelukan. Dan itu, kini terbukti dengan nyata oleh panggilan Papa yang diulang berkali-kali. Jelas, Cahaya kembali hendak ikut campur dengannya. Jelas, gadis itu sedang berusaha merecoki hidupnya.

"Hallo, Pa?"

"Takut lihat panggilan Papa, Bim?"

Woah. Tentu saja tidak. Mana mungkin Bima takut menghadapi kemarahan Papanya, kalau sekarang saja ia siap mati perlahan di tangan Arimbi. Kalau Bima tidak dengan buru-buru mengangkat panggilan sang Papa, itu karena ia cukup malas dengan topik yang akan mereka bicarakan kali ini. Topik, yang mungkin akan berujung pada kekurangajaran Bima dengan segala bentuk bantahan dan kebohongannya. Topik, yang mungkin bisa mengecewakan Papa yang sudah memberi segala bentuk kepercayaan untuk Bima.

"Takut kenapa, Pa?" balas Bima tenang. "Aku lagi ngobrol bareng Randi dan Nisa di depan tadi, makanya nggak denger."

"Bukannya ngobrol sama Arimbi?"

Nah, sudah jelas kan seberapa menyebalkan si Cahaya Kamandanu itu. Dia bagai anak kecil yang kalah di lapangan tempatnya bermain, lalu berlari pada orang dewasa untuk mencari pembelaan.

Untuk mendukung kebohongan yang hendak Bima bangun, pria itu tertawa kecil. Suara yang meluncur dari tenggorokannya tidak boleh gugup. Konon, bukan Ibu saja yang memiliki naluri, Ayah juga memiliki radar semacam itu. Jadi Bima harus berhati-hati supaya tidak dipaksa berhenti saat ini juga.

"Kenapa tiba-tiba nyambung ke Arimbi? Bima nggak ngerti, karena sekarang Bima beneran lagi ngobrol sama Randi dan Nisa."

"Nggak usah pura-pura nggak ngerti," suara Papa terdengar mendesis kini. "Tadi Papa ketemu Cahaya, dia sudah cerita soal ketemu kamu yang katanya lagi jalan bareng sama Arimbi. Rangkul-rangkulan di mall. Mau ngelak apa lagi kamu?"

"Nggak ngelak apapun. Kalau memang Cahaya ngomong gitu, ya gitu, Pa. Aku memang pernah jalan sama Arimbi," balas Bima gagal menyembunyikan apapun. Mungkin melindungi Arimbi tak harus dilakukan dengan cara berbohong. "Sekarang tinggal balik ke Papa. Papa lebih percaya anak sendiri apa si Cahaya itu."

"

"Kalau Bima bilang Arimbi nggak tinggal di sini, Papa akan percaya apa nggak?"

"Nggak."

Bima menghela napas, "Ya sudah. Papa bebas mau percaya sama siapa pun. Percuma sekarang Bima ngomong banyak-banyak, toh Papa tetap akan sama keyakinan yang Papa udah tarik semaunya. Selain Bima yang jalan sama Arimbi ada lagi yang pengen Papa sampaiin?"

"Berhenti berhubungan sama gadis itu."

"Maaf, Pa. Bima udah cukup gedhe buat ambil pilihan sesuai keputusan Bima sendiri."

"Dan Papa udah cukup tua, untuk bisa ngelarang anak-anak Papa, Bim. Papa yang besarin kalian. Papa tahu sekali, mana yang terbaik buat kalian. Jadi kalau kamu memang masih anak Papa, ma—"

Kotak MemoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang