23 | Kata Ayah tentang Orlan

8.4K 1.7K 155
                                    

I've a bad news. Masa aku udah move on dari bima, padahal aku belum megang endingnya. 😭😭😭

Mungkin akibat libur terlalu lama ya, jadi aku agak kesulitan nulis bima ini. Maka sebelum rasaku benar-benar hilang, *eaaaa* niatnya aku mau rampungin ini dengan buru-buru. Dampaknya, feel yang berusaha aku bagi sama kalian mungkin nggak akan terlalu nendang. Maafkan.

Dan maaf lagi, karena ndg bisa balasin komenan kalian yang bab kemarin. Aku lumayan *sok* sibuk nih. Hihi. Maafkan lagi.

Tapi jangan kapok buat komen yes. Thanks and luvya...

***

'Kalau aku pengen ngajak kamu jalan, keberatan nggak, Dai?'

Sebaris pesan itu hampir saja membuat jantung Arimbi melorot. Padahal beberapa hari ini ia hampir terbiasa mendapatkan pesan dari Orlan. Tapi semua pesan itu hanya berisi basa-basi tidak penting. Tidak seperti sekarang, permintaan ringan yang membuatnya meremas perut seketika.

Arimbi kebingungan untuk menjawab. Kesanggupan atau penolakan sama-sama sulit untuk terlontar. Maka sejenak, Arimbi mengalihkan mata pada langit. Kakinya menumpu tanah, mendorong pelan, hingga tubuhnya terayun di atas ayunan kayu. Beberapa menit kemudian, Arimbi kembali menengok ponsel. Dan seperti biasa, Orlan akan keluar dari jejaring berbagi pesan ini, apabila pesannya hanya berakhir dibaca tanpa dibalas. Orlan seolah hanya menawarkan, tidak pernah memaksa Arimbi untuk menerima. Orlan juga hanya ingin mengirim pesan, tidak juga memaksa Arimbi untuk suka cita membalasnya.

Gadis itu menghela napas. Sungguh setengah mati Arimbi dibuat penasaran pada sosok Orlan. Pria yang ditentang keras oleh Ayah, tapi begitu ia pertahankan mati-matian. Apa yang terjadi padanya dan Orlan di masa lalu? Cinta gila seperti apa yang dimilikinya dulu? Dan, masih banyak lagi pertanyaan yang bercokol dalam nalar.

'Aku izin Ayah Bunda dulu.'

'tentu. Bilang sama Ayahmu, kita hanya akan makan di cafe dekat bandara. Sebelum sore habis, kamu sudah akan di rumah.'

Cepat sekali pria itu membalas. Tak pelak membuat Arimbi merasa tak enak.

Cafe dekat Bandara. Ehm, satu tempat yang terdengar familiar. Seolah, ia pernah mendengarnya berkali-kali. Selalu menyebutnya berulang-ulang. Mungkin ia sering berkunjung ke tempat itu dulu, putus Arimbi tanpa bertanya.

Dan pucuk di ulam pun tiba. Sedan putih milik Ayah sudah kembali setelah pergi pagi-pagi tadi. Padahal ini masih sore, tumben sekali Ayah pulang cepat.

"Dai?" seru Ayah memanggil putri cantiknya.

Arimbi melambai. Beranjak dari ayunan, lalu berjalan menghampiri sang Ayah. "Kok udah pulang, Lily mana?"

Oh, ngomong-ngomong, gadis manja seperti Lily juga bisa bekerja. Tapi percayalah, Ayah dan Bunda tidak akan membiarkan Lily bekerja sebagai karyawan yang memikul tanggung jawab. Maka dari itu, Ayah memberikan Lily kesibukan di salah satu showroom Ayah. Tugas Lily hanya duduk dan tanda tangan saja. Berangkat, bersamaan dengan Ayah. Pulang pun menunggu jemputan Ayah. Uh, enak sekali.

Arimbi cemburu? Entahlah. Tapi rasanya tidak. Ia sudah melihat potongan masa lalunya melalui foto demi foto. Dan potret dirinya berseragam pramugari dengan penuh senyum itu sudah jadi bukti bahwa memang itu yang Arimbi inginkan. Tidak masalah tidak jadi boss, yang terpenting Arimbi bisa keluar rumah lalu menjelajah sisi bumi lain.

"Bundamu minta diantarin belanja. Lily Ayah suruh naik taksi saja." Ayah mengamit pundak putrinya. "Anak gadis Ayah belum mandi sepertinya?"

Arimbi cekikikan, "kenapa? bau, ya?"

Kotak MemoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang